Ini hari keempat aku 'cuti' nggak ngikut ke toko bareng suami. Due date sih masih jauhhh, sekitar tanggal 5 September, tapi aku dan suami pede banget debay bakal lahir di minggu ini atau bulan Agustus akhir. Suami pun minta aku rest aja di rumah biar nggak terlalu capek untuk persiapan lahiran.
Sebelum jam makan siang, tiba-tiba ngidam Cheetos puff! Mayan random, yee. Seinget aku Cheetos puff emang udah diproduksi secara lokal, karena pernah lihat di salah satu supermarket. Kebetulan ada Indomaret di seberang tempat tinggal, diniatin aja deh jalan kaki biar ngidam tersampaikan dan debay nggak ngeces pas keluar nanti.
DAN TERNYATA BENERAN ADA DONG.
Langsung beli dua bungkus! Tapi yang dimakan cuma satu kok.
Malamnya, mendadak ada rasa nyeri menjalar pelan di bagian pinggang ke bawah. Wah, apakah ini kontraksi? Atau sakit perut kebanyakan makan Cheetos? Nyerinya datang dan pergi, temponya pun nggak teratur. Karena belum merasakan sakit seperti ini sebelumnya, maka aku berasumsi ini adalah nyeri kontraksi. Kami sama sekali nggak panik, malah girang banget karena artinya Josh nggak lama lagi akan lahir.
H-1
Keesokan paginya...
Lho, sakitnya makin menjadi nih?
Nyeri yang dirasakan semalam berubah menjadi agak ngeselin. Perutku seperti kram dan terasa panas. Kebetulan dokter kami ada jadwal praktek pagi itu. Aku minta tolong suami untuk menemani ke rumah sakit sebentar, setelah itu baru berangkat kerja. Entah kenapa feeling aku kuat banget kalau Josh sebentar lagi lahir. Kalau nggak hari itu juga, mungkin besok. Katanya, kan, a mother's instinct is rarely wrong.
Saking pedenya, aku pun bikin 'pengumuman' di grup keluarga inti kalau sekarang kami sedang berada di RS karena mulai merasakan kontraksi. Semua anggota keluarga pun excited, khususnya mama. Turns out, beliau juga sama pedenya kayak aku kalau cucu pertamanya bakal lahir hari itu juga, hahahaha.
Masuk ke ruangan dokter, dengan bangga aku 'laporan' kalau aku siap lahiran karena udah mulai ngerasain kontraksi dari semalam. Dokter pun ikutan senang dan segera melakukan USG serta pemeriksaan 'dalam' untuk lebih detil.
Hal yang sangat ironis selama kehamilan ini adalah, aku sangat sangat sangat pede dan siap untuk lahiran normal. Namun, saat mendengar kata "periksa dalam", nyali mendadak ciut. Padahal ini nggak ada apa-apanya dengan rasa sakit kontraksi yang akan semakin intens saat menuju pembukaan penuh. Mau nggak mau aku harus 'bersahabat' dengan prosedur satu ini, karena ini cara satu-satunya untuk mengetahui pembukaan.
Saat dokter memakai sarung tangan dan siap memeriksa, posisi kedua kakiku superrrr awkward. It's almost like when you did 'it' for the first time HAHAHA. Dokternya sampai ngomong berulang-ulang, "Buuu, rileks ajaaa kakinya. Kalau nggak saya susah nih masukinnya." ((masukinnya)). Untung beliau dokter wanita, kalau nggak makin awkward situasinya LOL
Selesai pemeriksaan, aku berharap dokter setidaknya mengatakan sudah pembukaan 1. Namun apa daya, beliau memberitahu bahwa belum ada pembukaan sama sekali dan tidak ada lendir atau darah yang keluar.
Kecewa, sih. Soalnya nyerinya udah lumayan terasa lho, kok malah belum ada pembukaan sama sekali. Tapi nggak apa-apa. Berarti aku harus mulai melakukan induksi alami supaya mempercepat pembukaan. Dokter pun titip pesan kalau jika rasa sakitnya semakin intens, cus ke UGD supaya langsung ditangani. Ok deh, Dok!
Kami bergegas pulang ke rumah dan suami berangkat ke toko. Aku pun beraktivitas seperti biasa, nggak lupa rajin naik turun tangga berkali-kali.
Di hari yang sama, sekitar pukul setengah enam sore
Induksi alami yang dilakukan sepertinya membuahkan hasil.
Sakit yang dirasakan sejak pagi tadi semakin menjadi. Pain level-nya bertambah. Rasa sakitnya tuh extraordinary banget deh. Seumur-umur nggak pernah merasakan sakit seperti ini. Suami menawarkan untuk ke RS aja namun kutolak. Nanti aja kalau sakitnya bener-bener udah nggak bisa ditahan, baru berangkat. Toh jarak tempat tinggal kami ke RS nggak jauh.
Karena istrinya keukeuh, suami minta aku untuk tidur untuk mengumpulkan tenaga kalau-kalau harus lahiran malam ini juga. Herannya, rasa sakit ini malah semakin menganggu dan aku nggak bisa berbaring dengan tenang. Aku berlutut di tepi kasur menahan sakit. Lagi-lagi paksu menawarkan untuk ke RS, tapi tetap kutolak. Ya, kalau ke RS sekarang juga dan dicek ternyata belum ada kemajuan apa-apa, kan malessss.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Kalau telepon mama sekarang kemungkinan masih diangkat. Meski di Bali udah tengah malam, orangtuaku lumayan hobi ngalong. Entah kenapa aku ingin tanya pendapat mama lebih dulu.
Setelah nada sambung berbunyi lebih dari lima kali, akhirnya teleponku dijawab. Aku mencoba mendeskripsikan rasa sakit yang aku alami ke Mama sambil meringis di dekat jendela. Jawaban mama saat itu terdengar setengah panik: "Cepat sana ke RS! Tunggu apa lagi?? Kamu itu mau lahiran!"
Karena mama udah memberikan lampu hijau, maka dengan cepat kami langsung ngesot ke RS menggunakan... sepeda motor! Did I mention jarak tempat tinggal kami dan RS itu sangat lah dekat? Meski hanya membutuhkan waktu lima menit, tetap aja sensasi menahan kontraksi di atas sepeda motor lumayan banget, yak, Mak!
Di UGD
Kami langsung menuju UGD ketika sampai di depan rumah sakit. Aku lupa gara-gara apa, tapi kami nggak bisa langsung masuk ke ruangan, jadi harus menunggu beberapa menit.
Tetiba aku merasa kebelet pengen BAB. Secepat kilat ngibrit ke toilet untuk segera menuntaskan panggilan alam ini. Setelah duduk beberapa menit, lah nggak keluar apa-apa. Seketika teringat dengan cerita pengalaman para ibu yang mau melahirkan, salah satu tandanya adalah sakit kontraksi seperti kebelet pup.
H-1
Keesokan paginya...
Lho, sakitnya makin menjadi nih?
Nyeri yang dirasakan semalam berubah menjadi agak ngeselin. Perutku seperti kram dan terasa panas. Kebetulan dokter kami ada jadwal praktek pagi itu. Aku minta tolong suami untuk menemani ke rumah sakit sebentar, setelah itu baru berangkat kerja. Entah kenapa feeling aku kuat banget kalau Josh sebentar lagi lahir. Kalau nggak hari itu juga, mungkin besok. Katanya, kan, a mother's instinct is rarely wrong.
Saking pedenya, aku pun bikin 'pengumuman' di grup keluarga inti kalau sekarang kami sedang berada di RS karena mulai merasakan kontraksi. Semua anggota keluarga pun excited, khususnya mama. Turns out, beliau juga sama pedenya kayak aku kalau cucu pertamanya bakal lahir hari itu juga, hahahaha.
Masuk ke ruangan dokter, dengan bangga aku 'laporan' kalau aku siap lahiran karena udah mulai ngerasain kontraksi dari semalam. Dokter pun ikutan senang dan segera melakukan USG serta pemeriksaan 'dalam' untuk lebih detil.
Hal yang sangat ironis selama kehamilan ini adalah, aku sangat sangat sangat pede dan siap untuk lahiran normal. Namun, saat mendengar kata "periksa dalam", nyali mendadak ciut. Padahal ini nggak ada apa-apanya dengan rasa sakit kontraksi yang akan semakin intens saat menuju pembukaan penuh. Mau nggak mau aku harus 'bersahabat' dengan prosedur satu ini, karena ini cara satu-satunya untuk mengetahui pembukaan.
Saat dokter memakai sarung tangan dan siap memeriksa, posisi kedua kakiku superrrr awkward. It's almost like when you did 'it' for the first time HAHAHA. Dokternya sampai ngomong berulang-ulang, "Buuu, rileks ajaaa kakinya. Kalau nggak saya susah nih masukinnya." ((masukinnya)). Untung beliau dokter wanita, kalau nggak makin awkward situasinya LOL
Selesai pemeriksaan, aku berharap dokter setidaknya mengatakan sudah pembukaan 1. Namun apa daya, beliau memberitahu bahwa belum ada pembukaan sama sekali dan tidak ada lendir atau darah yang keluar.
Kecewa, sih. Soalnya nyerinya udah lumayan terasa lho, kok malah belum ada pembukaan sama sekali. Tapi nggak apa-apa. Berarti aku harus mulai melakukan induksi alami supaya mempercepat pembukaan. Dokter pun titip pesan kalau jika rasa sakitnya semakin intens, cus ke UGD supaya langsung ditangani. Ok deh, Dok!
Kami bergegas pulang ke rumah dan suami berangkat ke toko. Aku pun beraktivitas seperti biasa, nggak lupa rajin naik turun tangga berkali-kali.
Di hari yang sama, sekitar pukul setengah enam sore
Induksi alami yang dilakukan sepertinya membuahkan hasil.
Sakit yang dirasakan sejak pagi tadi semakin menjadi. Pain level-nya bertambah. Rasa sakitnya tuh extraordinary banget deh. Seumur-umur nggak pernah merasakan sakit seperti ini. Suami menawarkan untuk ke RS aja namun kutolak. Nanti aja kalau sakitnya bener-bener udah nggak bisa ditahan, baru berangkat. Toh jarak tempat tinggal kami ke RS nggak jauh.
Karena istrinya keukeuh, suami minta aku untuk tidur untuk mengumpulkan tenaga kalau-kalau harus lahiran malam ini juga. Herannya, rasa sakit ini malah semakin menganggu dan aku nggak bisa berbaring dengan tenang. Aku berlutut di tepi kasur menahan sakit. Lagi-lagi paksu menawarkan untuk ke RS, tapi tetap kutolak. Ya, kalau ke RS sekarang juga dan dicek ternyata belum ada kemajuan apa-apa, kan malessss.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Kalau telepon mama sekarang kemungkinan masih diangkat. Meski di Bali udah tengah malam, orangtuaku lumayan hobi ngalong. Entah kenapa aku ingin tanya pendapat mama lebih dulu.
Setelah nada sambung berbunyi lebih dari lima kali, akhirnya teleponku dijawab. Aku mencoba mendeskripsikan rasa sakit yang aku alami ke Mama sambil meringis di dekat jendela. Jawaban mama saat itu terdengar setengah panik: "Cepat sana ke RS! Tunggu apa lagi?? Kamu itu mau lahiran!"
Karena mama udah memberikan lampu hijau, maka dengan cepat kami langsung ngesot ke RS menggunakan... sepeda motor! Did I mention jarak tempat tinggal kami dan RS itu sangat lah dekat? Meski hanya membutuhkan waktu lima menit, tetap aja sensasi menahan kontraksi di atas sepeda motor lumayan banget, yak, Mak!
Di UGD
Kami langsung menuju UGD ketika sampai di depan rumah sakit. Aku lupa gara-gara apa, tapi kami nggak bisa langsung masuk ke ruangan, jadi harus menunggu beberapa menit.
Tetiba aku merasa kebelet pengen BAB. Secepat kilat ngibrit ke toilet untuk segera menuntaskan panggilan alam ini. Setelah duduk beberapa menit, lah nggak keluar apa-apa. Seketika teringat dengan cerita pengalaman para ibu yang mau melahirkan, salah satu tandanya adalah sakit kontraksi seperti kebelet pup.
Oh, jadi begini rasanya. Gilaaa, nggak enak banget! Rasanya kayak bener-bener pengen BAB, tapi nggak bisa (dan nggak boleh) ngeden. Aku pun teringat tanda melahirkan lainnya adalah keluarnya flek atau darah. Setelah aku cek, belum ada juga. Aku pun buru-buru kembali ke ruang UGD, takut namaku sudah dipanggil untuk masuk.
Ternyata benar namaku udah dipanggil. Dengan perasaan super nggak karuan, aku masuk ke ruangan dan siap dicek oleh seorang bidan yang ternyata adalah bidan senior. Dengar-dengar, bidan senior di RS ini cukup galak, apalagi ke bumil muda. Jadi sebisa mungkin aku nggak mau kelihatan manja yang nggak bisa nahan sakit. Sok kuat ceritanya, padahal udah keringat dingin.
Begitu ibu bidannya datang, aku menjelaskan kondisi yang kurasakan, termasuk pinggang yang makin terasa panas. Tahu apa respon dari beliau?
"Oh, masa?"
Ternyata benar namaku udah dipanggil. Dengan perasaan super nggak karuan, aku masuk ke ruangan dan siap dicek oleh seorang bidan yang ternyata adalah bidan senior. Dengar-dengar, bidan senior di RS ini cukup galak, apalagi ke bumil muda. Jadi sebisa mungkin aku nggak mau kelihatan manja yang nggak bisa nahan sakit. Sok kuat ceritanya, padahal udah keringat dingin.
Begitu ibu bidannya datang, aku menjelaskan kondisi yang kurasakan, termasuk pinggang yang makin terasa panas. Tahu apa respon dari beliau?
"Oh, masa?"
Nggak nengok sama sekali lho T____________________T
Pengen nangis rasanya, tapi lagi-lagi ngingetin diri sendiri kalau harus kuat! Nggak boleh manja!
Sang bidan pun melakukan periksa dalam dan memberitahukan kalau sudah pembukaan 1. Beliau memprediksikan bahwa aku akan melahirkan pagi ini. Sang bidan juga mempersilakan kami berdua untuk diskusi mau pulang atau menginap di RS aja. Kami memutuskan untuk stay, karena kalau memang pagi ini lahiran, pulang ke rumah kayaknya nanggung. Lagipula, kalau ada apa-apa, bisa langsung ditangani.
Suami segera mengurus administrasi supaya bisa buka kamar. Sementara aku dibawa ke ruang persalinan untuk melakukan CTG. Buat yang nggak familiar, CTG ini merupakan alat untuk memantau denyut jantung janin dan kontraksi rahim dalam kandungan. Tujuannya untuk memeriksa ada atau tidaknya gangguan pada bayi sebelum atau selama persalinan.
Cara kerja alat CTG ini agak unik. Setiap kali kita merasakan adanya tendangan janin, kita diharuskan menekan tombol khusus pada sebuah alat berupa remote. Who knows aktivitas kecil ini lumayan berhasil mengalihkan rasa sakit.
Di ruang persalinan
Ketika CTG berlangsung, aku dikejutkan oleh kedatangan pasangan ketua komsel kami. Ternyata suami udah laporan dan minta dukungan doa untuk proses persalinan. Nggak disangka mereka malah datang tengah malam untuk menjenguk kami.
Kak Ellen masuk ke ruang persalinan dan menemani aku selama CTG. Aku berusaha untuk mengobrol tenang. Sesekali diam karena menahan sakit. Kak Ellen membantu mengurangi rasa sakit dengan mengusap-usap pinggang aku. Thank you banget, Kak!
Selesai CTG, kamar pun sudah tersedia dan aku dipersilakan untuk beristirahat di kamar. Sebelum pindah ke kamar, kami sempat doa bareng bersama. Perasaanku jauh lebih tenang selesai berdoa. Rasanya pengen istirahat aja untuk mengumpulkan energi. Nggak terasa juga waktu sudah menunjukkan sekitar pukul setengah satu dini hari.
Setelah mereka pulang, kami berdua berusaha untuk tidur. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk memejamkan mata, namun rasa sakit kontraksi mengalahkan segala-galanya. Posisiku serba salah di atas ranjang. Aku juga bolak-balik ke kamar mandi karena takut benaran ingin BAB. Karena aku gelisah, suami pun nggak bisa tidur. Dia berusaha menenangkan aku yang mulai nggak jelas.
Drama pun dimulai.
Kontraksi yang aku rasakan semakin intens, semakin sulit dikendalikan. Latihan nafas ala senam hamil pun dipraktikkan, tapi nggak nolong. Nggak tahu ada berapa macam pose yang kulakukan untuk mengurangi rasa sakit. Mulai dari nungging, jongkok, sampai akhirnya berlutut di lantai nggak berdaya. Terbesit untuk epidural aja. Lagi-lagi teringat wajah bidan galak dan mama yang udah wanti-wanti untuk nggak epidural.
Aku mulai menangis, rasanya ingin teriak.
Suami mulai nggak tega liat keadaan istrinya dan menawarkan untuk manggil bidan ke kamar. Lantas kutolak, karena sebelum pindah ke kamar inap sang bidan galak itu udah titip pesan jangan panggil-panggil dia terus kalau sakit. Maksudnya, sih, biar nggak bolak-balik. Cuma ngomongnya nggak bisa diperhalus, huhu. Suami nggak peduli dan tetap memanggil bantuan.
Pengen nangis rasanya, tapi lagi-lagi ngingetin diri sendiri kalau harus kuat! Nggak boleh manja!
Sang bidan pun melakukan periksa dalam dan memberitahukan kalau sudah pembukaan 1. Beliau memprediksikan bahwa aku akan melahirkan pagi ini. Sang bidan juga mempersilakan kami berdua untuk diskusi mau pulang atau menginap di RS aja. Kami memutuskan untuk stay, karena kalau memang pagi ini lahiran, pulang ke rumah kayaknya nanggung. Lagipula, kalau ada apa-apa, bisa langsung ditangani.
Suami segera mengurus administrasi supaya bisa buka kamar. Sementara aku dibawa ke ruang persalinan untuk melakukan CTG. Buat yang nggak familiar, CTG ini merupakan alat untuk memantau denyut jantung janin dan kontraksi rahim dalam kandungan. Tujuannya untuk memeriksa ada atau tidaknya gangguan pada bayi sebelum atau selama persalinan.
Cara kerja alat CTG ini agak unik. Setiap kali kita merasakan adanya tendangan janin, kita diharuskan menekan tombol khusus pada sebuah alat berupa remote. Who knows aktivitas kecil ini lumayan berhasil mengalihkan rasa sakit.
Di ruang persalinan
Ketika CTG berlangsung, aku dikejutkan oleh kedatangan pasangan ketua komsel kami. Ternyata suami udah laporan dan minta dukungan doa untuk proses persalinan. Nggak disangka mereka malah datang tengah malam untuk menjenguk kami.
Kak Ellen masuk ke ruang persalinan dan menemani aku selama CTG. Aku berusaha untuk mengobrol tenang. Sesekali diam karena menahan sakit. Kak Ellen membantu mengurangi rasa sakit dengan mengusap-usap pinggang aku. Thank you banget, Kak!
Selesai CTG, kamar pun sudah tersedia dan aku dipersilakan untuk beristirahat di kamar. Sebelum pindah ke kamar, kami sempat doa bareng bersama. Perasaanku jauh lebih tenang selesai berdoa. Rasanya pengen istirahat aja untuk mengumpulkan energi. Nggak terasa juga waktu sudah menunjukkan sekitar pukul setengah satu dini hari.
Setelah mereka pulang, kami berdua berusaha untuk tidur. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk memejamkan mata, namun rasa sakit kontraksi mengalahkan segala-galanya. Posisiku serba salah di atas ranjang. Aku juga bolak-balik ke kamar mandi karena takut benaran ingin BAB. Karena aku gelisah, suami pun nggak bisa tidur. Dia berusaha menenangkan aku yang mulai nggak jelas.
Drama pun dimulai.
Kontraksi yang aku rasakan semakin intens, semakin sulit dikendalikan. Latihan nafas ala senam hamil pun dipraktikkan, tapi nggak nolong. Nggak tahu ada berapa macam pose yang kulakukan untuk mengurangi rasa sakit. Mulai dari nungging, jongkok, sampai akhirnya berlutut di lantai nggak berdaya. Terbesit untuk epidural aja. Lagi-lagi teringat wajah bidan galak dan mama yang udah wanti-wanti untuk nggak epidural.
Aku mulai menangis, rasanya ingin teriak.
Suami mulai nggak tega liat keadaan istrinya dan menawarkan untuk manggil bidan ke kamar. Lantas kutolak, karena sebelum pindah ke kamar inap sang bidan galak itu udah titip pesan jangan panggil-panggil dia terus kalau sakit. Maksudnya, sih, biar nggak bolak-balik. Cuma ngomongnya nggak bisa diperhalus, huhu. Suami nggak peduli dan tetap memanggil bantuan.
Beberapa menit kemudian, seorang suster masuk kamar dan menemukan si bumil lusuh dengan rambut cepol berantakan, berbaring lemah di pinggir sofa bed. Aku bilang ke suster kalau nggak bisa tahan sakit lagi dan minta dipindahkan ke ruang persalinan aja, yang mana sebenarnya di ruang persalinan pun nggak bakal ada tindakan apapun sampai aku full pembukaan.
Kembali di ruang persalinan, ternyata ibu bidan galak itu sedang melakukan tindakan pasien lainnya yang sedang melahirkan. Aku diminta menunggu di kamar bersalin terpisah. Suami nggak diizinkan masuk karena adanya tindakan tersebut.
Sendirian, di kamar bersalin. Rasa sakit semakin nggak tertahankan. Aku ingin teriak, tapi takut mengganggu proses ibu yang sedang bersalin.
Aku kembali ke toilet lagi karena sensasi ingin BAB itu bermunculan terus. Kali ini hanya berhasil pipis. Begitu nyeka, jeng jeng jeng... darah segar mengalir cukup banyak.
Buru-buru aku memberitahu bidan atau suster yang bisa ditemui di luar kamar. Lagi-lagi aku hanya disuruh menunggu. Aku sedikit kesal karena merasa dicuekin. Ini pengalaman melahirkan pertama lho, kok kayak nggak dikasih wejangan apa pun atau setidaknya berusaha menenangkan. Semuanya cuek dan nggak melakukan apa-apa.
Karena nggak mendapatkan bantuan moral apa pun, aku berusaha untuk mengatur nafas sendirian seperti yang diajarkan di kelas senam. Ternyata memang in real labor, latihan yang selama ini diajarkan nampak sia-sia. Sia-sia buatku, sih, sepertinya.
Bener-bener, ya. Rasa sakit mau melahirkan itu nggak ada yang bisa menandingi. Mulutku nggak berhenti mengucap doa, meminta pertolongan dan perlindungan Tuhan.
INI SUAMI GUE UDAH BOLEH MASUK BELOM SIH??
Sendirian di kamar bersalin seperti ini sambil menahan sakit itu bikin gila. Aku cuma ingin suamiku diperbolehkan masuk untuk menemani T_T
Sekitar jam 3 subuh
Akhirnya ibu bidan masuk untuk mengecek pembukaan. And guess what, udah pembukaan 4!
Mulai pembukaan 4 dan seterusnya, aku seperti setengah sadar. Penglihatanku mulai samar-samar. Mungkin aku ngantuk, mungkin juga kecapekan. Suster juga memberikan infus glukosa untuk menambah tenaga. Aku sempat dipaksa makan, tapi aku nggak mau. Padahal terakhir makan ya sore kemarin. Suami bolak-balik menyodorkan air putih, susu dan teh manis dengan sedotan. Dia maksa supaya setidaknya aku punya tenaga tambahan, or else, I don't have enough energy for pushing.
Aku juga sempat melihat suster memasukkan ranjang bayi ke dalam ruangan. Melihat itu, hatiku mendadak tenang dan semakin bersemangat untuk bertemu si bayik!
THE BIG DAY, pagi hari, sekitar jam 7 pagi
Sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba!
Bukan, bukan si debay. Aku belum lahiran.
Ketika melihat obgynku datang, rasanya lega banget. Karena sebentar lagi aku akan diijinkan untuk mengejan!
Mendekati pembukaan terakhir, sensasi mengejan itu semakin ingin dilakukan. Begitu aku ngeden, dokter langsung menegur supaya aku bisa menahan sebentar lagi. Sembarangan mengejan tanpa instruksi akan menyebabkan dua hal: Pertama, jahitan bakal banyak! Kedua, kepala dede bayi sulit untuk turun, yang ada malah nyangkut di atas T_T
Kehadiran dokter menjadi alarm untuk satu ruangan kalau aku siap untuk melahirkan.
THIS IS IT.
Aku diminta ambil posisi, kaki dibuka selebar-lebarnya, dan tanganku refleks mencari tangan suami lagi untuk pegangan (dan penenang). Antara haru, kesakitan, senang, deg-degan semua campur jadi satu. Kami berdua sama-sama berdoa dalam hati supaya semua berjalan dengan lancar.
Setelah mengejan 20 menit, kepala si bayik nggak turun juga, sementara kondisiku semakin lemas dan dokter memberitahu bahwa aku salah mengejan. Suster memasang selang oksigen untuk supaya aku tidak kekurangan nafas. Kalau sampai aku pingsan, bayi akan dalam keadaan bahaya. Nggak berapa lama, aku mendengar ucapan dokter seperti petir di siang bolong.
"Ibu, tolong dengar instruksi kami, ya. Ibu harus bisa ngejan dengan benar, kasihan bayi ibu. Saya cuma bisa kasih dua kali ngejan lagi, ini udah hampir 30 menit. Kalau sampai dua kali nggak bisa juga, terpaksa saya lakukan emergency c-section."
Oh, Tuhan Yesus.
Aku sama sekali nggak menyiapkan apapun untuk tindakan operasi. Kami nggak menyiapkan dana, nggak menyiapkan mental, bahkan nggak membekali diri sama sekali mengenai prosedur operasi sesar. Selama hamil, aku sangat positif bisa melakukan vaginal birth. Bahkan waktu sempat 'divonis' kemungkinan nggak bisa lahir normal karena mata minus, aku masih sangat optimis bisa melahirkan normal.
Ultimatum dokter tadi benar-benar membuatku sedih dan down seketika. Dan di saat aku mencoba kembali untuk mengejan sekuat tenaga, still... nothing happen down there.
Dokter nggak mau menunggu lagi, beliau langsung memberitahu suami untuk diskusi cepat untuk melakukan tindakan operasi. Setelah itu siap tandatangan formulir setuju c-section.
I remembered that I was crying so loud, so hard.
Rasa bersalah menjalar karena nggak bisa mengejan dengan baik dan membuat Josh harus 'nunggu' lama di bawah sana. Dia pasti udah kesakitan juga karena aku nggak bisa bantu untuk keluar tepat waktu.
Ketika dokter keluar ruangan, berkali-kali aku meminta maaf ke suami karena nggak bisa mengejan dan melahirkan normal. Aku juga sempat menanyakan apakah kamu punya biaya cukup untuk tindakan operasi. Dan semakin sedih ketika aku melihat dia menangis sambil megangin tanganku. Dia cuma bilang, "Nggak usah minta maaf dan nggak usah mikir yang lain. Sekarang yang penting Josh dan kamu bisa selamat. Operasi aja, ya?".
If the c-section is the best way for both of us, so it is.
Sembari memasang kateter urin, suster terus mengingatkan untuk tidak mengejan dan mengatur pernafasan. Catat, yaaaa. Ini udah pembukaan penuh dan udah nggak bisa menahan rasa sakit kontraksi yang merajarela.
Nggak berapa lama kemudian, aku dibopong ke ranjang beroda dan langsung dibawa ke ruang operasi. Sebelum masuk ruang operasi, baju piyamaku yang udah super duper lusuh dan pastinya bau keringat, diganti dengan baju operasi.
Di saat itu aku baru sadar, aku masuk ke ruang operasi, sendirian.
Aku bahkan nggak sempat ngomong sepatah dua kata ke suami. Ini benar-benar menakutkan buat aku. Semuanya di luar dugaan.
Masuk ruang operasi, sekujur badan langsung menggigil.
Tapi ternyata ruang operasi ini nggak semenakutkan yang aku bayangkan. Ruangannya serba putih, sangat terang. Ada beberapa dokter lalu lalang di sekitarku, dan seorang dokter anestesi meminta izin untuk memberikan bius.
Saat obat bius berhasil dimasukkan, rasa sakit luar biasa yang kualami selama semalaman penuh hilang begitu saja dalam hitungan detik. It feels like heaven!
Aku dipersilakan untuk berbaring dan operasi akan segera dimulai. Aku sempat bertanya pada obgynku yang sedang duduk di sebelah sambil memakai sarung tangan.
"Dok, sakit nggak?"
Beliau menjawab dengan tenang. "Ibu doa aja, ya."
Selama operasi berlangsung, aku berusaha untuk terus sadar karena ingin bertemu dengan Josh. Di tengah kondisi hampir nge-fly, aku masih sempat mendengar perbincangan para dokter tentang salah satu kuliner kaki lima. Ini sambil (mon maap yaak) ngebelek perut pasien sambil ngomongin makanan banget nih, dok?
Kira-kira belasan menit kemudian, salah satu dokter bilang, "Ibu, ini mau ngeluarin dede bayinya ya." Tiba-tiba perut aku ditekan kuat dan diguncang-guncang oleh semua dokter.
And before I know it... I heard the loudest cry in the room.
Joshua was born at 08:48 am. Praise the Lord!
Nggak seperti lahiran normal, Josh nggak langsung ditaruh di atas badanku. Dokter dan suster segera membersihkannya dulu, kemudian dilakukan pemeriksaan singkat. Sebelum Josh dibawa keluar untuk diobservasi, suster meletakkan badan mungilnya di atas dadaku. He's so cute, oh my God. Kulitnya terlihat biru, wajahnya juga agak pucat. Mungkin karena terlalu lama menunggu di bawah sana. Maaf, ya, nak. Mama salah ngejan, nggak bisa bantu kamu keluar dengan cepat ):
Suster pun membawa Josh keluar ruangan operasi, sementara dokter melanjutkan proses penjahitan. Dalam sekejap pun aku terlelap.
Oh my dear God. Melahirkan itu melelahkan sekali!
Ketika semuanya hampir selesai, aku terbangun. Dokter memberitahu bahwa sudah selesai dan aku akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Setelah dipindahkan, orang pertama yang aku ingin temui adalah suami.
Ketika dia masuk ke dalam ruangan, aku bisa melihat raut wajahnya yang nampak sangat lelah. Dia menemani aku sepanjang malam, tanpa beristirahat. Belum lagi tangannya yang remuk akibat aku abuse sepanjang malam menahan sakit.
Di saat yang sama, suami terlihat berbeda. He is officially a father to our son.
He walked towards me and I hugged him, cried.
Pengalaman melahirkan ini luar biasa untuk kami berdua. Saat seorang ibu berjuang untuk melahirkan, ada seorang ayah yang juga turut berjuang melalui doa untuk calon buah hati.
Selama aku hamil, suami nggak pernah mengeluh sekalipun ketika aku butuh bantuan. Bahkan di saat harus tindakan operasi, dia tetap support aku. Masalah dana sama sekali dia nggak ungkapkan. Dia malah mengingatkan aku untuk jangan pernah melabeli diri sendiri sebagai ibu yang baik atau tidak melalui "cara melahirkan". Semua ibu hebat, semua ibu berjuang, baik lahiran normal maupun operasi.
No one can ever tell you what it will feel like to love someone, so deeply, until you become a mother.
Dear Josh, I have the greatest 38 weeks ever in my life. And I know my life will never be the same starting today since you came into this world. There will be lots of sleepless nights, itchy breasts, and other exciting new things. Those things don't matter because mommy loves you so much! Please grow up well and stay healthy. Papa mama love you to the moon and back!
gosh kak, aku deg deg an bacanya >< walaupun rasanya kk gk nakut2in, kok aku tetep takut yah? hahaha. But this is calming. and one thing I wanna say, To God Be The Glory yah :') Semoga kalian selalu bahagia & diberkati dalam Tuhan kak!
ReplyDeletesetelah baca ulang komenku, kok it seems like I'm ready to be a mom yah. ahahah. still need to find the man koks kak :')
DeleteHahaha takut mah wajar kok, but we have to embrace it!
DeleteMakasih ya buat doanya. God bless you too and good luck for meeting the one *winks*
Ah Jane, aku ikutan terharu baca birth story-mu. Baby Joshua is so cute, semoga jadi anak baik, pintar dan selalu disayang sama semua yaa :)
ReplyDeleteThank you for reading, Eya! Aminnn, makasih ya (:
DeleteHallo Jane, been a silent reader for so long. Hehehe.
ReplyDeleteCongrats ya! Your baby is so cute.
Trus iya, jangan nyalahin diri sendiri karena gak berhasil lahiran normal. Still, you are his mom. His best mom.
Lagipula ya, kalo uda kesakitan gitu, hilang blas kog semua teori cara ngejan, cara napas, dll. ahahahaha.
semangat yaaa!
Hi Petris!
DeleteThank you so much ya! And yes, teori selalu lebih mudah dibanding saat harus benar" melakukannya hahaha
Thanks for reading my blog too! (:
Hi Jane, baru baca postingan ini. ikut deg2an bacanya. setelah selesai cuma mikir, 'untung dulu gw milih operasi dari awal' haha. gw cemen banget sih ga berani lahiran normal, mau dihina2 orang lain juga bodo amat deh. tapi bersyukur ya akhirnya Josh lahir normal dan sehat2.. ga masalah mau gimana lahirannya, yg penting mama dan baby selamat ya...
ReplyDeleteHahaha gapapa ci, memang kontraksi itu sakitnya luar binasa! Kalau nanti hamil lagi, aku juga mau langsung operasi aja, nggak mau ambil risiko untuk normal lagi. Salut sama maama-mama jaman dulu ya yang belum kenal operasi yah. Bisa lahirin sampai selusin anak hahaha.
DeleteIya, no matter how we deliver our baby, yang penting sehat dan selamat yah (: