I rarely share my testimony about the goodness of God on my blog. Mungkin pernah tapi hanya sekilas. Karena minggu lalu di gereja baru mengakhiri sermon yang bertemakan Taste and See, kayaknya aku pengen bagiin sesuatu yang berhubungan dengan itu.
Note: What I'm gonna write here is what I believe in. Tapi aku percaya apa yang aku tulis nggak bicara tentang agama tertentu, malah harusnya sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari even you're not on the same "belief" with me. Namanya "iman" itu, kan, sangat personal, ya. So, aku percaya kalian juga pasti pernah mengalaminya (:
***
Seingatku, aku belum pernah share gimana aku bisa kuliah di China 8 tahun yang lalu (deymmm, udah 8 taun yang lalu ajah!). Apa udah pernah, ya? Mungkin di blog lama, sih. Tapi di sini belum, jadi mari kita mulai flash back.
Tahun 2008, keluargaku mengalami krisis ekonomi yang cukup bikin gonjang-ganjing. Kami pindah rumah dan orangtua mencoba untuk memulai usaha baru dari 0. Saat itu aku masih hepi-hepinya menikmati bangku kelas 11.
Skip to 2009, angkatanku mulai heboh melakukan university hunting. Promosi dari berbagai kampus mulai berdatangan ke sekolah untuk saling unjuk keunggulan kampus masing-masing. Salah satu mimpi terbesarku di masa sekolah, adalah untuk kuliah. Terserah, deh, mau kuliah jurusan apa dan di mana, yang penting gue bisa kuliah. Aku sempat naksir beberapa kampus dengan minat jurusan yang berbeda-beda. Kalau bisa diterima di kampus A, gue bakal ambil jurusan ini. Kalau bisa diterima di kampus B, gue akan ambil jurusan B. Jagoan banget, ye?
Berkat piala ranking 3 yang aku dapatkan di kelas 11, namaku masuk daftar siswa pilihan untuk mengambil paket kuliah di salah satu kampus swasta bergengsi di daerah Karawaci dengan harga khusus dan bebas memilih jurusan. Tergiur banget, lah! Waktu itu kalau nggak jurusan bisnis, aku akan mengambil jurusan musik. Konon katanya, jurusan musik di sana paling kece dan disertai fasilitas yang super mevvah. Waktu dapat kesempatan untuk campur tour ke sana, aku ngeces berat. Kampusnya keren banget!
Suatu hari, orangtua memanggilku untuk 'rapat' berempat. Aku nggak ingat detil apa yang kami bicarakan, tapi poin yang paling kuingat adalah aku terancam tidak bisa langsung melanjutkan kuliah setelah lulus SMA nanti. Kemungkinan besar aku harus kerja terlebih dahulu, atau kalau memang mau kuliah, aku harus mendapatkan beasiswa. Kontan responku drama banget. Kalau boleh meminjam istilah abege di jaman itu, duniaku langsung terbalik 180 derajat dan hatiku hancur lebur. Langsung kerja kayaknya males banget. Mengejar beasiswa juga nggak mungkin banget. Definisi beasiswa ala gue: hanya untuk kalangan otak encer, definitely not me.
Namanya juga abege, aku langsung nangis heboh dan bilang kalau ini nggak adil buatku. Padahal aku tau orangtuaku juga sama hancurnya kayak aku, mungkin lebih. Karena aku tau banget mereka sangat concern dengan pendidikan aku dan adik-adikku. Only the situation made us no choice. Ya, pilihan ada, sih. Tapi saat itu aku merasa nggak ada pilihan aja.
Sejak saat itu, aku melepas kesempatan untuk mendaftar kuliah di jurusan musik. Walaupun pengen ngotot, tapi aku nggak setega itu pada orangtua. Akhirnya aku memberi 'jatah' kesempatan tersebut untuk temanku yang kurasa lebih pantas mendapatkannya.
Waktu pun berlalu, aku mulai konsentrasi ikut bimbel di sekolahan dan belajar untuk mempersiapkan UAN—dulu nyebutnya masih UAN, ye. Sambil belajar, aku sambil riset kampus dengan pilihan jurusan yang biaya pangkal masuknya nggak mahal-mahal banget. Di saat aku berusaha menurunkan standar kampus pilihanku sebelumnya, beberapa teman dekat malah udah mantap akan kuliah di luar negeri, salah satunya ke China. Rasa iri semakin nggak tertahankan. Pokoknya setelah lulus SMA, aku harus kuliah, titik.
Suatu hari, I believe that day there was no rain or even blizzard, papaku mendapat telepon dari seorang kerabat yang menjabat sebagai principal di salah satu sekolah di luar Jakarta. Beliau menyampaikan bahwa di sekolahnya ada jatah beasiswa penuh ke China dan bermaksud untuk menawarkannya padaku. Namun perlu dicatat, aku harus masuk waiting list, karena beasiswa tersebut akan diprioritaskan terlebih dahulu untuk murid dalam. Kalau tidak ada kandidat yang terpilih, beasiswa tersebut langsung diberikan padaku, tanpa harus ikut ujian, dllnya. Reason why the principal offered the scholarship to me, karena setahun sebelumnya aku ikut event study tour mereka ke China and he found out that my ability in Mandarin is good. Boleh, ya, sombong dikit. Soalnya cuma ini yang paling bisa kubanggakan.
Berita tersebut seperti hujan di musim kemarau (sorry, I don't have any good expression) bagi orangtuaku. Mereka langsung memberitahu dan memintaku untuk stop trying to apply ke kampus-kampus lain. Aku harus fokus dengan tawaran menggiurkan ini dan berdoa supaya aku bisa mendapatkannya. Herannya, bukannya senang aku malah semakin kesal dengan berita itu. Kok mereka egois banget, sih, meminta aku untuk berhenti apply ke kampus lain, yang di mana kemungkinan aku diterimanya masih ada (sebelum masa pendaftaran berakhir) dan berharap kepada beasiswa penuh keluar negeri yang belum tentu aku dapat, dengan pilihan jurusan yang nggak gue banget. For me back then, it was a stupid act.
Aku pasrah dan ingin menangis tiap saat waktu mengetahui beberapa teman sudah diterima di kampus tertentu. Bahkan ada yang beruntung diterima kuliah sampai ke Eropa. Sementara aku harus menyerah mendaftar ke kampus favorit dengan jurusan pilihan dan memilih untuk manut sama orangtua.
Fast forward, I finally realized that was not a stupid act, that was an act of faith. And it wasn't me at first lho. Itu adalah faith step yang diambil oleh orangtuaku, sebelum akhirnya aku memilih untuk ikut beriman bersama mereka. Setelah sama-sama sepakat dengan harapan yang sama, The Big Man started to do something with it.
Mengutip kalimat yang disampaikan di sermon minggu lalu, apa yang ditawarkan itu benar, ujungnya pasti baik. Kalau aku boleh menghubungkan dengan situasi 8 tahun lalu itu, beasiswa penuh yang ditawarkan itu adalah sesuatu yang benar, ujungnya adalah pengalaman yang priceless selama empat tahun—not to mention I found the father of my son in China (EYAAA) dan menjadi salah satu the best moment of my life, aku berani bilang semua itu adalah suatu yang baik.
Can I get an Amen, sistah and brotha?
"Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan."
Sekarang baru tahu, dulunya belum tahu apa-apa. Taste and see (kecap/rasa dan melihat) adalah sebuah rumus perjalanan iman. Kita diminta untuk mengecap dulu, baru melihat. Kita sering ditawarkan kehidupan seperti itu nggak, sih? Sama sekali nggak tahu apa yang dilakukan sekarang ini tuh berujung apa. But we did it anyway. Demi apa coba? Demi kepercayaan kita sendiri bahwa Tuhan pasti memberikan yang terbaik.
Buat yang sekarang lagi no idea dengan apa yang dikerjakan; work, school, relationship, atau apapun itu... percayalah, kalau semuanya itu benar, kalian akan menerima hasil yang baik. Because we live by believing, not by seeing.
Tahun 2008, keluargaku mengalami krisis ekonomi yang cukup bikin gonjang-ganjing. Kami pindah rumah dan orangtua mencoba untuk memulai usaha baru dari 0. Saat itu aku masih hepi-hepinya menikmati bangku kelas 11.
Skip to 2009, angkatanku mulai heboh melakukan university hunting. Promosi dari berbagai kampus mulai berdatangan ke sekolah untuk saling unjuk keunggulan kampus masing-masing. Salah satu mimpi terbesarku di masa sekolah, adalah untuk kuliah. Terserah, deh, mau kuliah jurusan apa dan di mana, yang penting gue bisa kuliah. Aku sempat naksir beberapa kampus dengan minat jurusan yang berbeda-beda. Kalau bisa diterima di kampus A, gue bakal ambil jurusan ini. Kalau bisa diterima di kampus B, gue akan ambil jurusan B. Jagoan banget, ye?
Berkat piala ranking 3 yang aku dapatkan di kelas 11, namaku masuk daftar siswa pilihan untuk mengambil paket kuliah di salah satu kampus swasta bergengsi di daerah Karawaci dengan harga khusus dan bebas memilih jurusan. Tergiur banget, lah! Waktu itu kalau nggak jurusan bisnis, aku akan mengambil jurusan musik. Konon katanya, jurusan musik di sana paling kece dan disertai fasilitas yang super mevvah. Waktu dapat kesempatan untuk campur tour ke sana, aku ngeces berat. Kampusnya keren banget!
Suatu hari, orangtua memanggilku untuk 'rapat' berempat. Aku nggak ingat detil apa yang kami bicarakan, tapi poin yang paling kuingat adalah aku terancam tidak bisa langsung melanjutkan kuliah setelah lulus SMA nanti. Kemungkinan besar aku harus kerja terlebih dahulu, atau kalau memang mau kuliah, aku harus mendapatkan beasiswa. Kontan responku drama banget. Kalau boleh meminjam istilah abege di jaman itu, duniaku langsung terbalik 180 derajat dan hatiku hancur lebur. Langsung kerja kayaknya males banget. Mengejar beasiswa juga nggak mungkin banget. Definisi beasiswa ala gue: hanya untuk kalangan otak encer, definitely not me.
Namanya juga abege, aku langsung nangis heboh dan bilang kalau ini nggak adil buatku. Padahal aku tau orangtuaku juga sama hancurnya kayak aku, mungkin lebih. Karena aku tau banget mereka sangat concern dengan pendidikan aku dan adik-adikku. Only the situation made us no choice. Ya, pilihan ada, sih. Tapi saat itu aku merasa nggak ada pilihan aja.
Sejak saat itu, aku melepas kesempatan untuk mendaftar kuliah di jurusan musik. Walaupun pengen ngotot, tapi aku nggak setega itu pada orangtua. Akhirnya aku memberi 'jatah' kesempatan tersebut untuk temanku yang kurasa lebih pantas mendapatkannya.
Waktu pun berlalu, aku mulai konsentrasi ikut bimbel di sekolahan dan belajar untuk mempersiapkan UAN—dulu nyebutnya masih UAN, ye. Sambil belajar, aku sambil riset kampus dengan pilihan jurusan yang biaya pangkal masuknya nggak mahal-mahal banget. Di saat aku berusaha menurunkan standar kampus pilihanku sebelumnya, beberapa teman dekat malah udah mantap akan kuliah di luar negeri, salah satunya ke China. Rasa iri semakin nggak tertahankan. Pokoknya setelah lulus SMA, aku harus kuliah, titik.
Suatu hari, I believe that day there was no rain or even blizzard, papaku mendapat telepon dari seorang kerabat yang menjabat sebagai principal di salah satu sekolah di luar Jakarta. Beliau menyampaikan bahwa di sekolahnya ada jatah beasiswa penuh ke China dan bermaksud untuk menawarkannya padaku. Namun perlu dicatat, aku harus masuk waiting list, karena beasiswa tersebut akan diprioritaskan terlebih dahulu untuk murid dalam. Kalau tidak ada kandidat yang terpilih, beasiswa tersebut langsung diberikan padaku, tanpa harus ikut ujian, dllnya. Reason why the principal offered the scholarship to me, karena setahun sebelumnya aku ikut event study tour mereka ke China and he found out that my ability in Mandarin is good. Boleh, ya, sombong dikit. Soalnya cuma ini yang paling bisa kubanggakan.
Berita tersebut seperti hujan di musim kemarau (sorry, I don't have any good expression) bagi orangtuaku. Mereka langsung memberitahu dan memintaku untuk stop trying to apply ke kampus-kampus lain. Aku harus fokus dengan tawaran menggiurkan ini dan berdoa supaya aku bisa mendapatkannya. Herannya, bukannya senang aku malah semakin kesal dengan berita itu. Kok mereka egois banget, sih, meminta aku untuk berhenti apply ke kampus lain, yang di mana kemungkinan aku diterimanya masih ada (sebelum masa pendaftaran berakhir) dan berharap kepada beasiswa penuh keluar negeri yang belum tentu aku dapat, dengan pilihan jurusan yang nggak gue banget. For me back then, it was a stupid act.
Aku pasrah dan ingin menangis tiap saat waktu mengetahui beberapa teman sudah diterima di kampus tertentu. Bahkan ada yang beruntung diterima kuliah sampai ke Eropa. Sementara aku harus menyerah mendaftar ke kampus favorit dengan jurusan pilihan dan memilih untuk manut sama orangtua.
Fast forward, I finally realized that was not a stupid act, that was an act of faith. And it wasn't me at first lho. Itu adalah faith step yang diambil oleh orangtuaku, sebelum akhirnya aku memilih untuk ikut beriman bersama mereka. Setelah sama-sama sepakat dengan harapan yang sama, The Big Man started to do something with it.
Mengutip kalimat yang disampaikan di sermon minggu lalu, apa yang ditawarkan itu benar, ujungnya pasti baik. Kalau aku boleh menghubungkan dengan situasi 8 tahun lalu itu, beasiswa penuh yang ditawarkan itu adalah sesuatu yang benar, ujungnya adalah pengalaman yang priceless selama empat tahun—not to mention I found the father of my son in China (EYAAA) dan menjadi salah satu the best moment of my life, aku berani bilang semua itu adalah suatu yang baik.
Can I get an Amen, sistah and brotha?
Graduation shoot 2013
"Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan."
- Roma 8:28
Sekarang baru tahu, dulunya belum tahu apa-apa. Taste and see (kecap/rasa dan melihat) adalah sebuah rumus perjalanan iman. Kita diminta untuk mengecap dulu, baru melihat. Kita sering ditawarkan kehidupan seperti itu nggak, sih? Sama sekali nggak tahu apa yang dilakukan sekarang ini tuh berujung apa. But we did it anyway. Demi apa coba? Demi kepercayaan kita sendiri bahwa Tuhan pasti memberikan yang terbaik.
Buat yang sekarang lagi no idea dengan apa yang dikerjakan; work, school, relationship, atau apapun itu... percayalah, kalau semuanya itu benar, kalian akan menerima hasil yang baik. Because we live by believing, not by seeing.
P.S. setelah nulis ini aku jadi berpikir sesuatu. Kuliah itu benar-benar sesuatu privilige yang pernah aku punya. Di saat beberapa orang menganggap kuliah itu sebagai prestige buat mereka, aku malah nggak berani untuk take kesempatan kuliah yang aku terima cuma-cuma ini for granted. Suatu hari nanti Josh pasti lulus SMA (amennn...) dan aku nggak tahu pandangan dia tentang kuliah apa. But hopefully kami sebagai orangtua bisa memberikan nilai dan esensi tentang kuliah pada anak-anak kami nanti. We'll see.
Jane, tau gak, Taste and See itu adalah lagu yang kupilih untuk Holy Matrimony di gereja saat aku nikah, dipakai untuk lagu antar bacaan, karena itu diambil dari Kitab Mazmur. Taste and See the Goodness of The Lord, atau Mazmur bahasa Indonesianya: Kecaplah Betapa Sedapnya Tuhan. Memang Tuhan itu sungguh baik, cuma seperti pernah kusebut BERKALI-KALI, kita nggak tau apa rencana Tuhan buat kita, sampai bertahun2 berlalu baru deh... Oh gitu toh yg Tuhan mau.
ReplyDeletewow! thanks for sharing Jane!
ReplyDeleteand yes forever He is good indeed :)
Setuju Jane, banyak hal yang yang kita anggap "kok gini sih" pas kecil/remaja, justru pas kita dewasa dan lihat lagi, kita bakal bersyukur banget udah ambil jalan itu. Thanks for sharing this beautiful story, Mama Josh :D
ReplyDeleteHalo Kak Jane! Di kunjungan pertamaku kali ini, aku memilih postingan ini sebagai postingan pertama yang aku baca. Entah kenapa, nggak tau kenapa, mungkin juga Tuhan yang sudah mengatur.
ReplyDeleteSedikit nyambung ke situasi aku yang sekarang hahaha 😂 I don't have any idea about my life Kak. Dan ajaib banget ya! Tuhan menggiring aku ke tulisan ini. Sebuah rencana yang super unpredictable.
Terimakasih sudah menulis dengan sangat penuh makna dan mengingatkan aku untuk letting go apapun yang terjadi saat ini. Seperti kata Kak Jane yang "Because we live by believing, not by seeing".
So, thanks a lot Kak Jane! 💕
Hi Syifa! Makasih banyak yaa udah main ke tulisan lamaku ini :D gara-gara kamu, aku jadi baca ulang tulisan sendiri dan tetap merasa kagum dengan cara kerja Tuhan waktu itu hahahaha
DeleteDan kalau merujuk pada cerita kamu yang di-share di blog, iya benar juga ya. So maybe universe try to tell you something! Pokoknya tetap semangat dan lakukan yang terbaik ya! Asal kita lakukan yang terbaik, Tuhan pasti juga ikut bekerja. GOOD LUCK 🥰