Mungkin sebagian dari kita masih agak skeptis dan 'takut' nonton film karya bangsa sendiri. Takut dalam arti filmnya entar nggak bagus, nyesel banget ternyata biasa aja, kok pemilihan aktornya nggak cocok, kok ceritanya cheesy banget dll.
Fyi, film Indonesia pertama yang aku tonton itu Petualangan Sherina, masih SD deh itu. Setelah itu cukup banyak judul film lokal yang aku nikmati, mulai dari Eifeel I'm in Love, Vina Bilang Cinta, 30 Hari Mencari Cinta dll. AADC kebetulan nggak nonton, sih, nggak tertarik, hahahaha.
Sebenernya, film lokal banyak yang bagus kok. Kalo nggak bagus, mungkin emang kebetulan nonton film yang 'salah', nggak sesuai genre yang kita suka. So far, buatku kategori drama atau rom-com gitu biasanya lumayan oke. Kalo tipe komedi macam filmnya Radit aku malah nggak gitu suka, kurang nyambung dengan humornya.
Selain film drama, aku pernah nggak sengaja nonton film berjudul 2014: Siapa di atas Presiden?, sewaktu perjalanan pulang dari honeymoon ke Jakarta beberapa tahun lalu. Filmnya semacam fiksi pilpres yang mencekam, mungkin terinspirasi dengan heboh pilpres 2014 yang lalu, ya. (eh, tau-tau sekarang udah mau pilpres lagi ajah). Kesan sehabis nonton film tersebut, aku jadi mikir, gila juga, ternyata Indonesia tuh ada film sekeren ini.
Nah, kebetulan beberapa waktu lalu aku sempet nonton beberapa film Indonesia yang nggak sempat nonton di bioskop (ada yang nonton ulang juga, sih) dan yang meninggalkan kesan cukup dalam, adalah:
1. Critical Eleven
Mengobati rasa sakit hati film Antologi Rasa, akhirnya aku nonton ulang film adaptasi novelnya Ika Natassa yang pertama, Critical Eleven (CE).
Waktu Kak Ika mengumumkan para cast CE tuh udah kebayang banget film ini bakal dikemas 'mewah'. Gimana nggak, pemeran utamanya aja Reza Rahardian dan Adinia Wirasti (bahkan ada aktor senior Widyawati Sophiaan dan Slamet Rahardjo lho, pusing nggak tuh), syutingnya di New York dan pengisi soundtrack-nya Isyana Sarasvati (ya, ini pengecualian karena aku memang belum pernah dengar lagunya Isyana, cuma tau dia pernah duet dengan Raisa, jadi pasti bagus *cetek banget analisis gue hahaha*). Sampai di hari trailer-nya rilis, aku pun makin gregetan karena ini pasti bagus banget deh.
Bagi yang belum pernah nonton atau baca novelnya, Critical Eleven bercerita tentang pertemuan Ale dan Anya di sebuah perjalanan, lalu berlanjut sampai jenjang pernikahan dan sampai di suatu waktu mereka ditimpa oleh sebuah tragedi yang menjadi sebuah ujian dan turning point dalam hubungan pernikahan mereka berdua.
Buat yang udah nikah, mungkin sangat bisa relate dengan apa yang dihadapi Ale dan Anya. Hal-hal (kecil) yang bisa memicu pertengkaran dalam rumah tangga tuh bisa dilihat di film ini. Nggak berarti setiap marriage life tuh ribet atau sulit, tapi memang butuh dua orang—si suami dan istri—untuk berjuang mempertahankannya. Kalo kata bapaknya Ale, setiap kita punya jutaan alasan untuk menolak kehadiran suami/istri sebagai pendamping hidup—ini berbicara kalo kita sedang menghadapi trial dalam hubungan, tapi kita juga punya satu alasan untuk bisa mempertahankan pernikahan itu sendiri.
Pokoknya CE ini nggak terlalu dramatis, real malah. Romantis-romantisnya pun nggak dibuat-buat. Sebagai film adaptasi pertamanya Ika Natassa, ini terbilang sukses. Bahkan Adinia Wirasti berhasil menyabet dua penghargaan sebagai best actress di dua ajang penghargaan film yang berbeda (salah satunya penghargaan internasional di AACA 2018 kemarin) berkat perannya di film ini. Mantul, ya!
2. Sabtu Bersama Bapak
Ini juga re-watch karena sebelumnya pernah nonton di bioskop. Alasan nontonnya juga lagi-lagi karena suka dengan novelnya.
So yes, this is another novel adaption movie, karyanya Adhitya Mulya.
Sabtu Bersama Bapak bercerita tentang kehidupan kakak-adik bernama Satya dan Saka yang tumbuh bersama single mother, karena ayah mereka meninggal akibat sakit kanker. Sang ayah yang enggan meninggalkan keluarganya begitu saja, memutuskan untuk merekam video yang berisi pesan dan nasihat sebagai bekal ketika anak-anaknya beranjak dewasa. Video tapes tersebut disimpan sang ibu dan ditonton setiap hari Sabtu bersama kedua putranya.
Tema keluarga yang diangkat di film ini terasa banget dari awal sampai akhir. Peran seorang ayah (dan suami) dalam sebuah keluarga itu memang krusial banget, ya, apalagi untuk seorang anak laki-laki. Kakak-adik yang diperankan Arifin Putra dan Deva Mahenra ini memang nggak sempurna, namun mereka tumbuh menjadi seorang gentlemen berkat pesan yang ditinggalkan dari ayah mereka. Meski saudara sekandung, nasib percintaan tentu tidak sama; yang satu laku banget sejak bujangan, yang satu kelamaan jomblo.
Meskipun ceritanya agak sendu di awal, ada sisipan humornya juga di tengah-tengah, mungkin gara-gara ada Ernest nih ikutan akting, hahahaha.
Salah satu scene favorit waktu Satya berantem hebat dengan istrinya, kemudian *maap spoiler* dia mimpi bertemu sang bapak dan saling debat karena menurutnya nasehat sang bapak nggak berguna untuk kehidupan pernikahannya. Sumpah, dua kali nonton scene itu dua kali juga aku nangis sesunggukkan.
Quote favorit juga yang berhasil bikin mewek, waktu si adik ngomong ke ibu *spoiler lagi* yang diam-diam menjalani operasi sendirian tanpa memberitahu anak-anaknya, "kalo ada apa-apa, ibu ngomong ya. Saka cuma punya satu ibu..."
*brb mewek lagi*
3. Dilan 1990
Aku tuh nggak kena bapernya Dilan, karena pas sekuel pertamanya tayang tahun lalu, aku masih sibuk ngurusin Shancai-Dao Ming Si di Meteor Garden 2018. Alhamdullilah, bapernya sampai sekarang belum kelar-kelar tuh, HAHAHA. Karena (dengar-dengar) efek baper Dilan-Milea itu cukup dahsyat, aku nggak mau ikutan dulu biar nggak capek hati LOL.
Tapiii, setelah nonton BTS Dilan 1990 aja tuh udah bisa menilai kalo film ini memang layak tonton dan nggak heran review-nya bagus-bagus... NGGAK heran juga kalo tante-tante pada kebelet pengen punya mantu kayak Dilan!
Nggak usah dikasih sinopsis kali, ya, udah pada nonton deh pasti, emang gue doang yang telat, hahaha.
What I like about Dilan 1990, aktingnya cakep-cakep! Nggak cuma Iqbaal dan Vanesha, seluruh cast berhasil dengan perannya masing-masing. Akting Vanesha emang agak kaku di beberapa scenes, sementara Iqbaal smooth banget dengan semua gombalannya, plus akting marah-marahnya pun nakutin. Paling suka scene Milea nyamperin Dilan yang lagi nyusun rencana buat nyerang musuh, terus Milea ngotot minta Dilan anterin jalan-jalan. Tatapannya Dilan ke Milea tuh... aduh. Ego anak cowok di usia segitu kan tinggi banget cuy, but he agreed to his girl and ditched his friends. Gilak, aku nonton adegan itu sampe deg-degan, padahal Mileanya biasa-biasa aja kayaknya.
Setelah nonton ini juga sedikit paham mengapa fans Dilan itu kebanyakan emak-emak, mungkin nostalgia masa-masa pacaran dulu, yaaa. Nungguin ditelpon gebetan, ditemenin pulang naek angkot, makan di warung mie (disuruh bungkus kerupuknya setengah juga nggak?), terus ganti baju cakepan sambil nunggu gebetan ngapel di rumah. Aku gemes banget, sih, pas scene Milea ganti baju pas tau Dilan mau dateng ke rumahnya, padahal sebelumnya doi kaosan doang waktu dikunjungi teman-temannya. Detil adegan kayak gitu aja udah cukup bikin senyum-senyum ya, mak! :P
4. Ngenest
Film pertamanya Ernest Prakasa yang diadaptasi dari novel berjudul sama.
Ngenest bercerita tentang kehidupan pribadi Ernest sendiri, yang katanya suka di-bully di sekolah karena dia Cina. Demi keturunan selanjutnya nggak kena bully lagi, cita-cita Ernest pun hanya satu; menikah dengan perempuan pribumi.
Sinopsisnya aja udah nyeleneh, ya, khas Ernest sekali. Kebayang banget orangtua Tionghoa manapun pasti ikutan keselek dengan orangtua Ernest waktu dia mendeklarasikan ingin menikahi orang pribumi.
Karena aku baru pernah nonton dua film Ernest; Cek Toko Sebelah dan Susah Sinyal, nonton Ngenest agak sedikit berbeda karena jauh lebih santai dan pastinya tetep bikin ketawa.
What I love about this movie:
Fyi, film Indonesia pertama yang aku tonton itu Petualangan Sherina, masih SD deh itu. Setelah itu cukup banyak judul film lokal yang aku nikmati, mulai dari Eifeel I'm in Love, Vina Bilang Cinta, 30 Hari Mencari Cinta dll. AADC kebetulan nggak nonton, sih, nggak tertarik, hahahaha.
Sebenernya, film lokal banyak yang bagus kok. Kalo nggak bagus, mungkin emang kebetulan nonton film yang 'salah', nggak sesuai genre yang kita suka. So far, buatku kategori drama atau rom-com gitu biasanya lumayan oke. Kalo tipe komedi macam filmnya Radit aku malah nggak gitu suka, kurang nyambung dengan humornya.
Selain film drama, aku pernah nggak sengaja nonton film berjudul 2014: Siapa di atas Presiden?, sewaktu perjalanan pulang dari honeymoon ke Jakarta beberapa tahun lalu. Filmnya semacam fiksi pilpres yang mencekam, mungkin terinspirasi dengan heboh pilpres 2014 yang lalu, ya. (eh, tau-tau sekarang udah mau pilpres lagi ajah). Kesan sehabis nonton film tersebut, aku jadi mikir, gila juga, ternyata Indonesia tuh ada film sekeren ini.
Nah, kebetulan beberapa waktu lalu aku sempet nonton beberapa film Indonesia yang nggak sempat nonton di bioskop (ada yang nonton ulang juga, sih) dan yang meninggalkan kesan cukup dalam, adalah:
1. Critical Eleven
Waktu Kak Ika mengumumkan para cast CE tuh udah kebayang banget film ini bakal dikemas 'mewah'. Gimana nggak, pemeran utamanya aja Reza Rahardian dan Adinia Wirasti (bahkan ada aktor senior Widyawati Sophiaan dan Slamet Rahardjo lho, pusing nggak tuh), syutingnya di New York dan pengisi soundtrack-nya Isyana Sarasvati (ya, ini pengecualian karena aku memang belum pernah dengar lagunya Isyana, cuma tau dia pernah duet dengan Raisa, jadi pasti bagus *cetek banget analisis gue hahaha*). Sampai di hari trailer-nya rilis, aku pun makin gregetan karena ini pasti bagus banget deh.
Bagi yang belum pernah nonton atau baca novelnya, Critical Eleven bercerita tentang pertemuan Ale dan Anya di sebuah perjalanan, lalu berlanjut sampai jenjang pernikahan dan sampai di suatu waktu mereka ditimpa oleh sebuah tragedi yang menjadi sebuah ujian dan turning point dalam hubungan pernikahan mereka berdua.
Buat yang udah nikah, mungkin sangat bisa relate dengan apa yang dihadapi Ale dan Anya. Hal-hal (kecil) yang bisa memicu pertengkaran dalam rumah tangga tuh bisa dilihat di film ini. Nggak berarti setiap marriage life tuh ribet atau sulit, tapi memang butuh dua orang—si suami dan istri—untuk berjuang mempertahankannya. Kalo kata bapaknya Ale, setiap kita punya jutaan alasan untuk menolak kehadiran suami/istri sebagai pendamping hidup—ini berbicara kalo kita sedang menghadapi trial dalam hubungan, tapi kita juga punya satu alasan untuk bisa mempertahankan pernikahan itu sendiri.
Pokoknya CE ini nggak terlalu dramatis, real malah. Romantis-romantisnya pun nggak dibuat-buat. Sebagai film adaptasi pertamanya Ika Natassa, ini terbilang sukses. Bahkan Adinia Wirasti berhasil menyabet dua penghargaan sebagai best actress di dua ajang penghargaan film yang berbeda (salah satunya penghargaan internasional di AACA 2018 kemarin) berkat perannya di film ini. Mantul, ya!
2. Sabtu Bersama Bapak
So yes, this is another novel adaption movie, karyanya Adhitya Mulya.
Sabtu Bersama Bapak bercerita tentang kehidupan kakak-adik bernama Satya dan Saka yang tumbuh bersama single mother, karena ayah mereka meninggal akibat sakit kanker. Sang ayah yang enggan meninggalkan keluarganya begitu saja, memutuskan untuk merekam video yang berisi pesan dan nasihat sebagai bekal ketika anak-anaknya beranjak dewasa. Video tapes tersebut disimpan sang ibu dan ditonton setiap hari Sabtu bersama kedua putranya.
Meskipun ceritanya agak sendu di awal, ada sisipan humornya juga di tengah-tengah, mungkin gara-gara ada Ernest nih ikutan akting, hahahaha.
Salah satu scene favorit waktu Satya berantem hebat dengan istrinya, kemudian *maap spoiler* dia mimpi bertemu sang bapak dan saling debat karena menurutnya nasehat sang bapak nggak berguna untuk kehidupan pernikahannya. Sumpah, dua kali nonton scene itu dua kali juga aku nangis sesunggukkan.
Quote favorit juga yang berhasil bikin mewek, waktu si adik ngomong ke ibu *spoiler lagi* yang diam-diam menjalani operasi sendirian tanpa memberitahu anak-anaknya, "kalo ada apa-apa, ibu ngomong ya. Saka cuma punya satu ibu..."
*brb mewek lagi*
3. Dilan 1990
Tapiii, setelah nonton BTS Dilan 1990 aja tuh udah bisa menilai kalo film ini memang layak tonton dan nggak heran review-nya bagus-bagus... NGGAK heran juga kalo tante-tante pada kebelet pengen punya mantu kayak Dilan!
Nggak usah dikasih sinopsis kali, ya, udah pada nonton deh pasti, emang gue doang yang telat, hahaha.
What I like about Dilan 1990, aktingnya cakep-cakep! Nggak cuma Iqbaal dan Vanesha, seluruh cast berhasil dengan perannya masing-masing. Akting Vanesha emang agak kaku di beberapa scenes, sementara Iqbaal smooth banget dengan semua gombalannya, plus akting marah-marahnya pun nakutin. Paling suka scene Milea nyamperin Dilan yang lagi nyusun rencana buat nyerang musuh, terus Milea ngotot minta Dilan anterin jalan-jalan. Tatapannya Dilan ke Milea tuh... aduh. Ego anak cowok di usia segitu kan tinggi banget cuy, but he agreed to his girl and ditched his friends. Gilak, aku nonton adegan itu sampe deg-degan, padahal Mileanya biasa-biasa aja kayaknya.
Setelah nonton ini juga sedikit paham mengapa fans Dilan itu kebanyakan emak-emak, mungkin nostalgia masa-masa pacaran dulu, yaaa. Nungguin ditelpon gebetan, ditemenin pulang naek angkot, makan di warung mie (disuruh bungkus kerupuknya setengah juga nggak?), terus ganti baju cakepan sambil nunggu gebetan ngapel di rumah. Aku gemes banget, sih, pas scene Milea ganti baju pas tau Dilan mau dateng ke rumahnya, padahal sebelumnya doi kaosan doang waktu dikunjungi teman-temannya. Detil adegan kayak gitu aja udah cukup bikin senyum-senyum ya, mak! :P
Ada yang pernah diajak nge-date ke pasar nggak buat belanja sayur, terus minta bunda—aka calon mertua—buat dimasakkin?
Beberapa waktu lalu udah ada agenda ingin nonton Dilan 1991 sendirian di bioskop, namun karena satu dan lain hal harus batal. Jadi, mari kita tunggu muncul di indoxxi saja, yaaa *teteppp streaming gratisan ya bok!*
4. Ngenest
Ngenest bercerita tentang kehidupan pribadi Ernest sendiri, yang katanya suka di-bully di sekolah karena dia Cina. Demi keturunan selanjutnya nggak kena bully lagi, cita-cita Ernest pun hanya satu; menikah dengan perempuan pribumi.
Sinopsisnya aja udah nyeleneh, ya, khas Ernest sekali. Kebayang banget orangtua Tionghoa manapun pasti ikutan keselek dengan orangtua Ernest waktu dia mendeklarasikan ingin menikahi orang pribumi.
Karena aku baru pernah nonton dua film Ernest; Cek Toko Sebelah dan Susah Sinyal, nonton Ngenest agak sedikit berbeda karena jauh lebih santai dan pastinya tetep bikin ketawa.
What I love about this movie:
- Ceritanya ringan dan amat sangat relate dengan kehidupan (aku) sehari-hari, secara gue juga Cina, kan, hahahaha. Bedanya, aku nggak pernah di-bully karena rasku ini, TAPI aku benci banget dipanggil "cina" atau "amoy" apalagi "ling ling" (itu bukan nama gue woy) sama abang-abang yang suka lewat waktu berangkat atau pulang sekolah. Untung sekarang udah nggak pernah, sih. Terus, scene persiapan nikah itu ngakak banget. Sumpah, Meira kok bisa sabar dengan kelakuan calon mertuanya, yak :P *ini pertanyaan serius lho btw*
- Akting para aktornya kece-kece dan dialognya ngalir. Setuju dengan apa kata Kak Teppy di postingan review-nya, istilah yang mereka pakai itu dekat banget ke kami yang memang turunan Tionghoa. Aku juga kaget mereka menggunakan istilah "tiko" yang artinya "pribumi", karena itu kasar banget. Terus, ada kata kasar lainnya yang sempet diucapkan Patrick yang ngingetin banget dengan gaya omongan temen-temen cowok di sekolah dulu.
- Guyonan/jokes-nya Ernest itu nyambung ke aku, padahal aku sering gagal paham dengan jokes-nya para komedian stand-up.
***
Semoga yang masih ragu nonton film karya bangsa sendiri bisa memberi kesempatan untuk nonton empat judul di atas, ya. Tell me if you like these movies too!
Selain yang sudah disebutkan, aku sempet nonton Terbang Menembus Langit dan Merry Riana juga, sayangnya kedua film tersebut nggak begitu meninggalkan kesan mendalam, sih. Mau nonton Posesif juga tapi belum sempat.
Ada yang punya rekomendasi film lokal bagus lainnya? Plis, jangan rekomen horor!
Filmnya Ernest yang Ngenest asik banget ditontonnya mbak. Salah satu jenis film yang menghibur, gak pelu banyak mikir tapi banyak pesan moralnya.
ReplyDeleteBuat CE sih kemasan sama pemainnya emang nomer wahid. Tapi kalo dari segi cerita buat saya B aja mbak
Sejauh ini suka sama film-filmnya Ernest, apa lagi yang Cek Toko Sebelah. Ada komedi tapi pesan moralnya juga dapet. Kalo Ngenest belum pernah nonton, jadi penasaran.
ReplyDeleteCici cuma nonton CE trus berasa alurnya kok lambat banget sampe ngantuk hahahaha...lebih memilih baca novelnya 😄😄😄
ReplyDeleteCoba nonton Hoax kak itu bagus banget, Madre juga lumayan. Daftar diatas ada yg udah ditonton kayak CE n Dilan, menurut saya garing sih mungkin karena saya ga ngalamin pengalaman mereka heheu tapi Petualan Sherina juarak
ReplyDeletengomongin nonton film di bioskop, ku jadi teringat udah setahunan gak nonton di bioskop, tepatnya abis melahirkan, sama sekali gak pernah ke bioskop lagi.
ReplyDeletekalo film lokal, aku tu suka banget kalo yang peranin reza rahardian, akting nya oke kalo menurut aku. jadi pingin nonton critical eleven. nanti ah cari bajakannya atau download di indo xxi. hehehe..
Dilan pun aku juga nonton dari hasil download-an, cukup oke lah film nya gak bikin kecewa secara aku udah baca buku nya duluan. biasanya kalo udah baca bukunya, pas nonton filmnya suka kecewa, tapi untuk dilan ini engga begitu.
kalo filmnya ernest, baru nonton cek toko sebelah doang. sip lah, jadi pingin download ngenest juga.. :D
Jadi pingin nonton sabtu bersama bapak tapi aku takut nangis sesenggukan, ngenest itu juga kayaknya seru. Film indonesia yang menurutku bagus sejauh ini aadc HAHAHAHAHA yang kedua nggak suka, kartini, trinity the nekad traveler, test pack, habibie ainun, udah sih kayaknya itu aja yang memberikan kesan mendalam.
ReplyDeleteKalau Critical Eleven dan Dilan 1990, salah dua dari list film Indonesia favorit saya banget. Tapi kalau ngenest, coba nonton di awal malah nggak sreg. Nah, yang jadi penasaran gara-gara baca artikel ini adalah Sabtu Bersama Bapak. Saya kira tuh cerita klise gitu, tahunya mengharu biru ya. Otw nonton kalau lengang weekend ini.
ReplyDeleteKalo aku yang paling berkesan tuh cek toko sebelah. Lucunya ada, sedihnya pun ada. Belum lagi soundtracknya itu, lagu berjalan tanpa kaki yang ngenaaa banget
ReplyDeleteSayaaaaaa... mau nonton yang 1 dan 2, ya ampun pengen banget, tapi lupa mulu hahaha.
ReplyDeletePengennya nonton DVDnya tapi ga punya, kayaknya kudu streaming nih.
Saya suka banget film Indonesia yang drama dan menyentuh, kayak Critical Eleven itu, Sabtu bersama Bapak, Athira, apa ya judulnya yang istri pahlawan dari Medan itu.
Banyak kok film Indonesia yang keren-keren, terutama dramanya.
Kalau komedi saya juga suka, cuman kadang terlalu lebay, ngenest kayaknya bagus sih, liat trailernya, tapi sejujurnya saya lebih suka drama.
Kalau Dilan mungkin bagus ya, cuman karena kisah remaja, jadinya saya yang emak-emak ini suka tapi gak seberapa greget.
Mamak-mamak mah sukanya liat konflik rumah tangga, drama yang penuh dengan arti hidup, lebih dari sekadar percintaan, apalagi cinta monyet hahaha
Film lokal yang sampai sekarang masih berkesan menurutku Critical Eleven, Tanda Tanya (?), sama 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta. Tiga-tiganya garapan yang keren banget dan isu yang diangkat juga digarap bagus dengan storyline yang jenius.
ReplyDeleteAku juga udah berulangkali direkomen film-filmnya Ernest, katanya bagus. Jadi penasaran pingin nonton juga :P