One day, me and hubby having this quite "serious" talk about success.
Trigger percakapan tersebut karena kita 'menemukan' beberapa orang di sekitar mencapai sesuatu yang besar dalam hidup mereka. Ada yang baru naik jabatan, ada yang bisnisnya lagi laris manis, ada yang berangkat traveling lagi, ada yang pindah ke rumah baru, dan lain-lain.
Di saat yang bersamaan, beberapa komentar dari sekitar mulai terdengar:
"Wah, dia sukses banget ya sekarang. Tokonya udah banyak cabang."
"Eh, dia berangkat ke Jepang lagi lho bulan depan. Tahun ini udah ketiga kalinya. Sukses banget ya dia sekarang."
Kemudian, kening ini berkerut. Apakah sukses itu selalu dihubung-hubungkan dengan pencapaian materi? Apakah selalu yang berhubungan dengan harta kekayaan?
Dia sukses, rumahnya besar dan mewah.
Dia sukses, suaminya kaya dan usahanya di mana-mana.
Dia sukses, mobilnya gonta-ganti terus.
Dia sukses, bisa keliling dunia.
Dia sukses, jabatan dan gajinya tinggi.
All about material things.
Yes, we need money. Ada saatnya di mana kita merasa butuh banget uang untuk bertahan hidup. Untuk ngembangin usaha, nyekolahin anak, bayar hutang, cicilan rumah dan sebagainya. Of course, kita harus giat kerja untuk mendapatkan itu semua. Tapi, apakah kita harus punya duit banyak dulu baru disebut sukses?
Udah banyak artikel di luar sana yang membahas soal kesuksesan. Surely it does lots of thoughts and opinions about being success. Salah satunya yang menjadi favoritku, adalah sebuah quote dari Maya Angelou.
1. Liking yourself.
Topik self-love, self-acceptance ini lagi sering diangkat. Karena memang makin ke sini banyak orang yang sulit untuk menerima keberadaan dirinya. Bahkan untuk seseorang yang kita anggap udah living their best life pun ternyata mereka berjuang untuk melawan depresi.
Menurutku, ini salah satu bentuk kesuksesan yang harus bisa dicapai oleh segala usia. Nggak terbatas untuk anak muda, semua kalangan harus bisa mencintai dirinya sendiri.
Btw, konsep "cinta diri sendiri" bukan berarti selfish atau narsis, ya. Pengertian gampangnya, seseorang harus bisa mencintai dirinya sendiri baru bisa mencintai dan menerima keberadaan orang lain.
Self-love bukan sekedar suka dengan bagian positif dari diri kita, tapi juga bisa memahami dan mau belajar untuk mengubah kekurangan dalam diri.
Satu hal yang masih jadi PR banget, aku masih suka membandingkan diri sendiri dengan orang lain, khususnya dalam hal pencapaian hidup. Sekarang udah jauh lebih baik, sih. Soalnya suka malu, udah status emak-emak kok masih suka jealous sama orang lain. Ada anak kecil di rumah yang look up banget lho sama mama papanya. Nggak boleh gampang iri!
Dalam rangka mencoba untuk mengenal diri sendiri lebih lagi, beberapa waktu lalu aku ikutan mini course dari Rahne Putri, judulnya mindful analysis: 30 days of writing and thinking.
Cara kerjanya, setiap hari akan ada pertanyaan, kemudian kita jawab di buku jurnal pribadi. Nggak usah di-publish jawabannya, karena ini murni untuk diri sendiri. Setiap pertanyaan dijawab dengan jujur dan nggak usah terburu-buru. Cari waktu sekitar 10-15 menit khusus untuk nulis ini. Buat ibu-ibu rumah tangga kayak aku, mungkin bisa pas anak tidur kali, ya. Harapannya dengan journaling ini, we get to know ourselves better and deeper.
Nggak bosen-bosen aku promosiin manfaat journaling, because it really helps myself. Buat yang mau coba juga, monggo ke akunnya Kak Rahne aja. Siapa tau bermanfaat.
2. Liking what you do and how you do it.
Tentang dua poin terakhir ini, aku udah pernah cerita sebetulnya di postingan ini. Aku bakal cerita ulang karena emang momen inilah yang membentuk karakter aku banget, baik sebagai ibu maupun sebagai seorang "Jane".
Udah hampir dua tahun lebih aku full mengurus Josh di rumah. Full di sini maksudnya bener-bener di rumah, nggak ada kerjaan sampingan (ya ada, sih, cuma nggak yang gimana-gimana banget), dari pagi sampai malam Josh liat muka mamanya terus. Waktu 24/7 bener-bener aku dedikasikan untuk Josh.
Seiring Josh bertambah besar, banyak challenge yang harus dihadapi, salah satunya fase tantrum yang bikin aku syok berat. Pasalnya, sebelum 2 tahun itu Josh anak yang kalem. Di luar pun Josh sangat manis, ini diakui oleh setiap orang yang kita temui. Tiba-tiba anaknya hobi throwing tantrum di rumah, gimana mamanya nggak panik?
Awal-awal menghadapi Josh lagi tantrum, percayalah, emaknya seringkali bisa ikutan tantrum, bahkan nangis di kamar mandi sendirian. Aku lebay? Bisa jadi. Tapi mungkin ibu-ibu yang pernah menghadapi anaknya tantrum bisa memahami, meski jenis tantrum tiap anak bisa berbeda-beda.
Frekuensi di mana aku bisa bersabar dan kalem menghadapi tantrumnya Josh, mungkin bisa dihitung jari. Masih bisa dihitung pakai jari pun udah pencapaian luar biasa buatku. Berarti ada masa-masa di mana stok kesabaranku berkelimpahan.
Namun seringnya, aku gagal mengelola emosi diri sendiri. Bukannya bantu menenangkan anak, malah ikutan tantrum. Rasanya udah capek, this is too much, mau sampai kapan kayak gini. There was a time I was like, "I'm done with this, I can't handle him alone anymore. I want to hire a professional nanny for help."
Kemudian ada sebuah suara kecil berbisik, "Eh, keputusan untuk jadi jagain Josh di rumah, kan, datang dari diri kamu sendiri. Masa kamu mau seenaknya ninggalin dia dengan pengasuh? Terus, kamu mau ngapain?"
Iya, ya. Panggil nanny ke rumah, terus aku ngapain? Tanggung jawabku menjadi seorang mamanya Josh apakah berhenti begitu aja?
Tiba-tiba aku diingatkan masa-masa Josh baru lahir, di mana pertama kalinya aku harus rela mengorbankan waktu tidur malam, belajar ganti popoknya, mikir keras apa yang harus dilakukan kalau Josh demam, sukses menyapih dan banyak milestone lainnya yang udah berhasil dilewati. Masa baru drama tantrum gini aja udah mau nyerah? Pakabar entar dia usia sekolah? Terus nanti dia jadi anak abege dst?
Singkat cerita (ini sih udah kepanjangan ya?), we did our way to end this drama. Teori yang udah dibaca di berbagai sumber nggak bisa diterapkan, ya pake cara sendiri aja lah. And thank God, the battle was over. Josh semakin oke dalam controlling his emotions. Aku pun bisa belajar menerapkan self-care di tengah kejenuhan menghadapi drama tersebut. Yes, a mother should practice self-care for parenting-survival.
Hubungan cerita di atas dengan poin liking what yo do ini apa dong?
Karena menurutku, menjalani peran sebagai seorang ibu itu harus ikhlas. Memang sulit, coba aja tanya nyokap masing-masing, susah nggak ngurus kita dari kecil sampai sekarang ini.
Dan bukan sekedar tanggung jawab. Semua yang udah berstatus ibu harus tanggung jawab dengan anaknya masing-masing. Yang berbeda itu caranya aja. Makanya beberapa waktu lalu aku pernah share di IG story, mengelompokkan ibu ini ibu itu, cara ini versus cara itu, tuh udah nggak zaman. Karena yaa kita tuh emang punya cara sendiri-sendiri. Liking what you do and how you do it. Kalo ketemu masalah, ya find another way. Change our perspectives. Parenthood drama nggak berhenti sampe di level tantrum doang. Akan banyak tantangan lainnya yang harus dihadapi seiring si anak tumbuh dewasa. Tantangan berbeda, cara menghadapinya juga pasti berbeda.
So for me, menjadi "sukses" itu bukan sekedar punya harta melimpah atau punya status tertentu. Menjadi sukses itu bukan akhir sebuah tujuan. Success is a journey. Segala sesuatu yang bentuknya materi, kekayaan, itu semua bonus dari hasil kerja keras kita.
Kalo ukuran sukses dinilai materi, jujur aku minder, sih. Karena nggak pernah ngerasa udah sukses secara materi. Yang penting mah hidup cukup, ada makan sehari udah bersyukur. Tapi nggak berarti aku nggak suka dengan pencapaian materi orang lain, ya. Justru ikut senang lah. Apalagi tau kalo ybs emang udah kerja keras banget jadi mereka bisa punya ini dan itu. They deserve that. Plus, masa iya kita mau komentar tentang rezeki orang. Sama juga kayak mahasiswa yang udah mati-matian nyelesain skripsi dan mereka berhasil lulus sidang. Itu bisa dibilang sukses juga lho. But life goes on. Banyak yang harus dikerjakan lagi setelah lulus kuliah.
On a side note, sukses selalu berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan. Kalo ingin sukses, jangan pernah lupa untuk selalu punya tujuan hidup, terus berkarya dan nggak lupa berbagi dengan orang lain.
Sebagai penutup, aku juga mau bagiin pendapat teman-teman lain tentang sukses. Sebelumnya, baca blog post barunya Mba Leija juga dong tentang sukses. POV-nya keren sekali deh!
Here are few what my friends said about success:
"Success it's when you feel content about your life. Not only things you can touch with hands (money or food) but things you can feel with your heart, like being loved, relationship with your spouse or friends, etc." - DL, 28, physician.
"Being able to live a life I want to live." - A, 26 y.o, an old friend
"I think everyone's definition of success changes depending on where he or she is in or her life's journey. For me, at this point in my life, success is simply living a good life. Cooking hearty dinner for your husband or baking bread for breakfast, having dinner with your sister on the weekend, and opening that bottle of wine once in a while. What I associate most with success can actually be summed up in what Peeta said in The Hunger Games: "If I'm going to die, I want to still be me." Whatever the goal is, however hard the journey is, no matter how big the success that comes with it is, I hope I will still have the courage to be true to myself. That, for me, is a success." - Marcella Purnama, 25, writer/housewife.
"Success for me is to be able to achieve goals, and my daily goal is to always elevate in life. Misalnya, kalo anak SMA targetnya adalah lulus kuliah sampai S2. Terus udah lulus S2 target berikutnya punya pekerjaan tetap dengan gaji yang oke. When we can achieve that goals, for me it's a success, sih. Arti sukses itu sendiri selama kita hidup akan terus berubah seiring kita bertumbuh." -K, 27, dream achiever
Trigger percakapan tersebut karena kita 'menemukan' beberapa orang di sekitar mencapai sesuatu yang besar dalam hidup mereka. Ada yang baru naik jabatan, ada yang bisnisnya lagi laris manis, ada yang berangkat traveling lagi, ada yang pindah ke rumah baru, dan lain-lain.
Di saat yang bersamaan, beberapa komentar dari sekitar mulai terdengar:
"Wah, dia sukses banget ya sekarang. Tokonya udah banyak cabang."
"Eh, dia berangkat ke Jepang lagi lho bulan depan. Tahun ini udah ketiga kalinya. Sukses banget ya dia sekarang."
Kemudian, kening ini berkerut. Apakah sukses itu selalu dihubung-hubungkan dengan pencapaian materi? Apakah selalu yang berhubungan dengan harta kekayaan?
Dia sukses, rumahnya besar dan mewah.
Dia sukses, suaminya kaya dan usahanya di mana-mana.
Dia sukses, mobilnya gonta-ganti terus.
Dia sukses, bisa keliling dunia.
Dia sukses, jabatan dan gajinya tinggi.
All about material things.
Yes, we need money. Ada saatnya di mana kita merasa butuh banget uang untuk bertahan hidup. Untuk ngembangin usaha, nyekolahin anak, bayar hutang, cicilan rumah dan sebagainya. Of course, kita harus giat kerja untuk mendapatkan itu semua. Tapi, apakah kita harus punya duit banyak dulu baru disebut sukses?
Udah banyak artikel di luar sana yang membahas soal kesuksesan. Surely it does lots of thoughts and opinions about being success. Salah satunya yang menjadi favoritku, adalah sebuah quote dari Maya Angelou.
"Success is liking yourself, liking what you do, liking how you do it."Aku coba mengartikan quote tersebut dengan pemahaman pribadi, ya. And this is gonna be a long post. So bear with me, grab a drink and let's start.
1. Liking yourself.
Topik self-love, self-acceptance ini lagi sering diangkat. Karena memang makin ke sini banyak orang yang sulit untuk menerima keberadaan dirinya. Bahkan untuk seseorang yang kita anggap udah living their best life pun ternyata mereka berjuang untuk melawan depresi.
Menurutku, ini salah satu bentuk kesuksesan yang harus bisa dicapai oleh segala usia. Nggak terbatas untuk anak muda, semua kalangan harus bisa mencintai dirinya sendiri.
Btw, konsep "cinta diri sendiri" bukan berarti selfish atau narsis, ya. Pengertian gampangnya, seseorang harus bisa mencintai dirinya sendiri baru bisa mencintai dan menerima keberadaan orang lain.
Self-love bukan sekedar suka dengan bagian positif dari diri kita, tapi juga bisa memahami dan mau belajar untuk mengubah kekurangan dalam diri.
Satu hal yang masih jadi PR banget, aku masih suka membandingkan diri sendiri dengan orang lain, khususnya dalam hal pencapaian hidup. Sekarang udah jauh lebih baik, sih. Soalnya suka malu, udah status emak-emak kok masih suka jealous sama orang lain. Ada anak kecil di rumah yang look up banget lho sama mama papanya. Nggak boleh gampang iri!
Dalam rangka mencoba untuk mengenal diri sendiri lebih lagi, beberapa waktu lalu aku ikutan mini course dari Rahne Putri, judulnya mindful analysis: 30 days of writing and thinking.
Cara kerjanya, setiap hari akan ada pertanyaan, kemudian kita jawab di buku jurnal pribadi. Nggak usah di-publish jawabannya, karena ini murni untuk diri sendiri. Setiap pertanyaan dijawab dengan jujur dan nggak usah terburu-buru. Cari waktu sekitar 10-15 menit khusus untuk nulis ini. Buat ibu-ibu rumah tangga kayak aku, mungkin bisa pas anak tidur kali, ya. Harapannya dengan journaling ini, we get to know ourselves better and deeper.
Nggak bosen-bosen aku promosiin manfaat journaling, because it really helps myself. Buat yang mau coba juga, monggo ke akunnya Kak Rahne aja. Siapa tau bermanfaat.
2. Liking what you do and how you do it.
Tentang dua poin terakhir ini, aku udah pernah cerita sebetulnya di postingan ini. Aku bakal cerita ulang karena emang momen inilah yang membentuk karakter aku banget, baik sebagai ibu maupun sebagai seorang "Jane".
Udah hampir dua tahun lebih aku full mengurus Josh di rumah. Full di sini maksudnya bener-bener di rumah, nggak ada kerjaan sampingan (ya ada, sih, cuma nggak yang gimana-gimana banget), dari pagi sampai malam Josh liat muka mamanya terus. Waktu 24/7 bener-bener aku dedikasikan untuk Josh.
Seiring Josh bertambah besar, banyak challenge yang harus dihadapi, salah satunya fase tantrum yang bikin aku syok berat. Pasalnya, sebelum 2 tahun itu Josh anak yang kalem. Di luar pun Josh sangat manis, ini diakui oleh setiap orang yang kita temui. Tiba-tiba anaknya hobi throwing tantrum di rumah, gimana mamanya nggak panik?
Awal-awal menghadapi Josh lagi tantrum, percayalah, emaknya seringkali bisa ikutan tantrum, bahkan nangis di kamar mandi sendirian. Aku lebay? Bisa jadi. Tapi mungkin ibu-ibu yang pernah menghadapi anaknya tantrum bisa memahami, meski jenis tantrum tiap anak bisa berbeda-beda.
Frekuensi di mana aku bisa bersabar dan kalem menghadapi tantrumnya Josh, mungkin bisa dihitung jari. Masih bisa dihitung pakai jari pun udah pencapaian luar biasa buatku. Berarti ada masa-masa di mana stok kesabaranku berkelimpahan.
Namun seringnya, aku gagal mengelola emosi diri sendiri. Bukannya bantu menenangkan anak, malah ikutan tantrum. Rasanya udah capek, this is too much, mau sampai kapan kayak gini. There was a time I was like, "I'm done with this, I can't handle him alone anymore. I want to hire a professional nanny for help."
Kemudian ada sebuah suara kecil berbisik, "Eh, keputusan untuk jadi jagain Josh di rumah, kan, datang dari diri kamu sendiri. Masa kamu mau seenaknya ninggalin dia dengan pengasuh? Terus, kamu mau ngapain?"
Iya, ya. Panggil nanny ke rumah, terus aku ngapain? Tanggung jawabku menjadi seorang mamanya Josh apakah berhenti begitu aja?
Tiba-tiba aku diingatkan masa-masa Josh baru lahir, di mana pertama kalinya aku harus rela mengorbankan waktu tidur malam, belajar ganti popoknya, mikir keras apa yang harus dilakukan kalau Josh demam, sukses menyapih dan banyak milestone lainnya yang udah berhasil dilewati. Masa baru drama tantrum gini aja udah mau nyerah? Pakabar entar dia usia sekolah? Terus nanti dia jadi anak abege dst?
Singkat cerita (ini sih udah kepanjangan ya?), we did our way to end this drama. Teori yang udah dibaca di berbagai sumber nggak bisa diterapkan, ya pake cara sendiri aja lah. And thank God, the battle was over. Josh semakin oke dalam controlling his emotions. Aku pun bisa belajar menerapkan self-care di tengah kejenuhan menghadapi drama tersebut. Yes, a mother should practice self-care for parenting-survival.
Hubungan cerita di atas dengan poin liking what yo do ini apa dong?
Karena menurutku, menjalani peran sebagai seorang ibu itu harus ikhlas. Memang sulit, coba aja tanya nyokap masing-masing, susah nggak ngurus kita dari kecil sampai sekarang ini.
Dan bukan sekedar tanggung jawab. Semua yang udah berstatus ibu harus tanggung jawab dengan anaknya masing-masing. Yang berbeda itu caranya aja. Makanya beberapa waktu lalu aku pernah share di IG story, mengelompokkan ibu ini ibu itu, cara ini versus cara itu, tuh udah nggak zaman. Karena yaa kita tuh emang punya cara sendiri-sendiri. Liking what you do and how you do it. Kalo ketemu masalah, ya find another way. Change our perspectives. Parenthood drama nggak berhenti sampe di level tantrum doang. Akan banyak tantangan lainnya yang harus dihadapi seiring si anak tumbuh dewasa. Tantangan berbeda, cara menghadapinya juga pasti berbeda.
So for me, menjadi "sukses" itu bukan sekedar punya harta melimpah atau punya status tertentu. Menjadi sukses itu bukan akhir sebuah tujuan. Success is a journey. Segala sesuatu yang bentuknya materi, kekayaan, itu semua bonus dari hasil kerja keras kita.
Kalo ukuran sukses dinilai materi, jujur aku minder, sih. Karena nggak pernah ngerasa udah sukses secara materi. Yang penting mah hidup cukup, ada makan sehari udah bersyukur. Tapi nggak berarti aku nggak suka dengan pencapaian materi orang lain, ya. Justru ikut senang lah. Apalagi tau kalo ybs emang udah kerja keras banget jadi mereka bisa punya ini dan itu. They deserve that. Plus, masa iya kita mau komentar tentang rezeki orang. Sama juga kayak mahasiswa yang udah mati-matian nyelesain skripsi dan mereka berhasil lulus sidang. Itu bisa dibilang sukses juga lho. But life goes on. Banyak yang harus dikerjakan lagi setelah lulus kuliah.
On a side note, sukses selalu berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan. Kalo ingin sukses, jangan pernah lupa untuk selalu punya tujuan hidup, terus berkarya dan nggak lupa berbagi dengan orang lain.
Sebagai penutup, aku juga mau bagiin pendapat teman-teman lain tentang sukses. Sebelumnya, baca blog post barunya Mba Leija juga dong tentang sukses. POV-nya keren sekali deh!
Here are few what my friends said about success:
"Success it's when you feel content about your life. Not only things you can touch with hands (money or food) but things you can feel with your heart, like being loved, relationship with your spouse or friends, etc." - DL, 28, physician.
"Being able to live a life I want to live." - A, 26 y.o, an old friend
"I think everyone's definition of success changes depending on where he or she is in or her life's journey. For me, at this point in my life, success is simply living a good life. Cooking hearty dinner for your husband or baking bread for breakfast, having dinner with your sister on the weekend, and opening that bottle of wine once in a while. What I associate most with success can actually be summed up in what Peeta said in The Hunger Games: "If I'm going to die, I want to still be me." Whatever the goal is, however hard the journey is, no matter how big the success that comes with it is, I hope I will still have the courage to be true to myself. That, for me, is a success." - Marcella Purnama, 25, writer/housewife.
"Success for me is to be able to achieve goals, and my daily goal is to always elevate in life. Misalnya, kalo anak SMA targetnya adalah lulus kuliah sampai S2. Terus udah lulus S2 target berikutnya punya pekerjaan tetap dengan gaji yang oke. When we can achieve that goals, for me it's a success, sih. Arti sukses itu sendiri selama kita hidup akan terus berubah seiring kita bertumbuh." -K, 27, dream achiever
***
Jadi, sukses menurut kamu apa? (:
Suka banget sama semua poin yang dijabarkan! Seiring berjalannya hidup, buat aku yang namanya sukses itu bukan lagi sesuatu yang material. But as simple as being content and happy about my life. Kalaupun sampai envy sama ‘kesuksesan’ orang lain, aku udah nggak pernah lagi iri sama hal-hal material mereka. Instead, sesimpel iri melihat mereka bisa happy sepenuhnya atau bisa live life to the fullest.
ReplyDeletePada intinya, buat aku yang namanya sukses itu ya “feel content”, just like what a friend of yours said. Untuk bisa “live a life I want to live” juga sebenarnya is an honorable success, but sometimes God has His own ways, right? Jadi gimana pun caranya dan hasil akhirnya, menurutku selama endingnya bisa berbahagia, itu udah kesuksesan besar sih ����
Growing up, aku memang diajarkan kesuksesan itu way more than material things. Nggak sadar ternyata itu yang membentuk aku sampai hari ini. It doesn't mean I don't appreciate material things sih, soalnya dapet angpao tiap Imlek itu senengnya bukan main hoahahaha tapi aku jadi lebih mudah bersyukur dan appreciate juga hal-hal abstrak yang emang nggak bisa dibeli dengan uang. So thanks to my mom and dad! Hahahaha
DeleteIntinya, we must must enjoy the life process ya. Dan jangan lupa masa depan itu ada di tangannya Tuhan :D
Thanks for sharing your thought, Ruth!
Aaah bener banget ini. Teringat percakapan sama temen kuliah yang dulu kami satu geng gitu. Dia bilang iri ngelihat saya dan teman-teman lain sudah sukses. Saya tanya, "emang menurut kamu, aku sukses kenapa?" dan dia jawab "sudah bahagia dengan keluarga kecil" saya mah senyum aja. Soalnya bingung mau menjelaskan kalau saya sendiri masih ngerasa keluarga kecil ini adalah proses, bukan capaian yang bisa dibilang sukses.
ReplyDeleteLah jadi curcol. Tulisan yang bagus mbak :)
Wah, I heard that a lot from my friends too lho, kebanyakan yang belum menikah juga sih. Tapi sejujurnya seneng juga denger kalimat itu, take that as compliment. In reality, itu cuma sebagian kecil dari pencapaian hidup ya, masih banyak hal yang harus dilakukan lagi.
DeleteGapapa, kan sama-sama sharing kita, hahaha. Makasih juga yaa, Mba (:
Baca ini ga berhenti ngangguk2, super loveeesss Janeee💙💙
ReplyDeletePoint dimana kesuksesan dimulai dari diri sendiri, bisa berdamai dgn diri dan ikhlas menjalani pilihan hidup. Krn ya bagaimana pun itu pilihan kita sendiri ya kan, tentu sudah dipikirkan konsekuensi dan sebab akibatnya. Lantas ga adil bgt kalo hanya krn ga bisa berdamai sama pilihan sendiri, jadi merasa iri sama pencapaian org lain.
This one is my personal thoughts ya,so I can relate with your posts.
Pernah berasa unfair kala kerjaan hectic n naujubilah ditambah pressure atasan kaya 💩💩, lalu main socmed isinya temen2 hepi main sama anak di rumah. I was so devastated huhuhu
Tapi ya balik lagi ku refleksikan diri pilihan bekerja krn kemauan sendiri :")
So yea couldn't agree more with the point self acceptance is a key to success :)
Kok aku terharu ya baca komenmu? T_T *hugss*
DeleteJadi ibu itu memang nggak mudah, ya. Awal aku jadi SAHM pun ngiri banget sama ibu-ibu kece yang masih bisa bekerja di luar. Oh well, ini kan udah pilihan sendiri ya, ya harus bisa dinikmati juga dong dan apapun konsekuensinya juga harus bisa terima dengan lapang dada. Setujuuuu banget tentang iri dengan pencapaian orang lain hanya karena nggak bisa berdamai dengan diri sendiri. Ini bisa jadi renungan banget.
Thanks for sharing your thought, Jen! Semangat yaa, mommy!
aaaaak suka banget. tapi di kebanyakan masyarakat kita ya tetap materi yg dipandangan nilai sebuah kesuksesan ya mba. salam kenal, Ghina
ReplyDeleteYa itu sulit juga sih. Aku pun masih ada kok beberapa anggota keluarga yang mengukur kesuksesan dari pencapaian materi. Yang penting gimana diri kita sendiri aja yaa (:
DeleteSalam kenal juga Ghina!
Makjleb bgt mba, saya merasa posisi saya seperti di no.1 kadang bangga kadang sebel sama diri sendiri, merasa hiduo koq ga adil, si dia udah kemana2, lah saya gini2 aja, self love saya mgkin masi kurang, eh maaf ya mba jadi curcol
ReplyDeleteSetuju banget mbak, sukses itu beda-beda dari tiap orang dan bakal berubah setiap saat. Buat saya, sukses itu mencapai tujuan dan bisa merasa bahagia. Bukan hanya soal seberapa banyak materi yang didapat :D Meski orang-orang di luar sana masih sering menganggap sukses = kaya raya
ReplyDelete