Personal
Our first marriage & parenting workshop. Akhir bulan lalu, aku dan suami ikutan seminar pernikahan yang diadakan di gereja kami. Ini merupakan marriage workshop pertama yang kami ikuti sejak menikah hampir lima tahun. Tema seminar kali ini adalah tentang komunikasi dalam pernikahan dan ada pembahasan tentang parenting juga.
Seminar berlangsung selama 3 jam, di mana selama satu jam pertama kami mendapatkan pelajaran garis besar tentang komunikasi dalam pernikahan, dilanjutkan 2 jam berikutnya di kelas parenting yang kami pilih.
Ada satu hal menarik sebelum seminar dimulai. Tiap pasangan diminta untuk saling berhadapan dan bergandengan tangan, kemudian masing-masing suami dan istri diberikan waktu 15 detik untuk memberikan pujian dan apresiasi untuk pasangannya.
Meskipun aku dan suami nggak lagi berantem, jujur aku sempat awkward saat diminta melakukan hal ini. Masalahnya ini harus dilakukan di tengah-tengah ratusan pasangan lainnya! Yaaa, nggak kedengaran juga, sih, pasangan lain ngomong apa hahaha. Tapi akhirnya bikin aku mikir: iya ya, kapan terakhir kali tatap-tatapan penuh cinta sambil gandengan tangan, kemudian harus mengucapkan kata-kata apresiasi untuk suami?
Aku dan suami itu punya kesibukan masing-masing; suami dengan kerjaannya, aku dengan urusan domestik dan hal lainnya. Terkadang sekedar ucapan "terima kasih" suka lupa kami ucapkan di saat pasangan melakukan sesuatu untuk kita.
Setelah suami selesai mengucapkan sesuatu dalam 15 detik yang bikin aku senyum-senyum (halah XD), giliran aku yang harus mengungkapkan apresiasi untuknya. Tiba-tiba aku keinget suatu hal yang baru aja terjadi beberapa hari sebelum kami hadir di seminar ini. Hari itu aku mendadak diare dan lemas seharian. Di waktu yang bersamaan, Josh rewel nggak mau makan. Tanpa kuminta, suami yang kebetulan hari itu lagi kerja di rumah, langsung sigap menangani Josh; bujukin dia makan, nemenin dia main dan sebagainya. Sebagai istri, sungguh aku sangat berterima kasih dengan gestur sederhana ini.
Aku pun mencoba menatap mata suami dan mengucapkan rasa terima kasihku sekali lagi atas apa yang udah dia lakukan. Setelah itu air mata pun berjatuhan... YA NGGAK LAH. Emangnya ini K-drama? 🤣
Pulang dari seminar ini rasanya kami seperti di-recharge kembali. Senang bisa membawa pulang bekal yang berguna untuk kehidupan berumah tangga kami berdua. Dan nggak sabar untuk mengikuti seminar selanjutnya di kesempatan lain 😊
Lunch date with Josh. Minggu lalu, Josh libur sekolah selama tiga hari setelah ambil rapor untuk term kedua. Puji Tuhan hasil rapornya memuaskan, ada peningkatan signifikan dan itu memang terlihat dalam diri Josh di rumah.
Karena anak mama pintar, hari berikutnya aku mengajak Josh ke toko mainan untuk beli monster truck idamannya. Iya, aku emak-emak rewarding, yaudalah ya! 😂
Keluar dari toko mainan, suasana hati Josh luar biasa senang. Saat kami berdua duduk di dalam restoran untuk makan dimsum, Josh nggak berhenti ngomong dan bertanya, "Ma, are you happy? I'm so happy!", sambil mengangkat tinggi-tinggi monster truck barunya. Then I told him that mama is happy too. Hepi karena bisa pergi dan makan berduaan dengan Josh.
Dari momen sederhana ini, aku malah belajar sesuatu tentang mengekspresikan emosi kita pada anak. Jujur deh, mama biasanya lebih sering mengekspresikan kemarahan pada anak, because I am ahahahahaha.
Tapi aku juga ingin saat aku senang, aku bisa menunjukkan itu pada Josh. Dan tanpa aku sadari, dia pun melakukan itu pada kami orangtuanya. Saat Josh senang, dia bisa mengekspresikannya, entah dengan tindakannya—seperti tiba-tiba makannya habis bersih seporsi lol—atau dengan kata-katanya seperti di atas. Saat dia sedih pun, dia juga bisa bilang kalau dia sedang sedih dan minta dipeluk. Proses ini pun tanpa kusadari juga terjadi karena kami udah melewati masa-masa tantrum Josh dua tahun yang lalu. Meski awal-awal menghadapi anak tantrum itu nguras jiwa dan raga, makin ke sini aku belajar untuk validasi emosi anak saat mereka 'berulah'.
Tapi aku juga ingin saat aku senang, aku bisa menunjukkan itu pada Josh. Dan tanpa aku sadari, dia pun melakukan itu pada kami orangtuanya. Saat Josh senang, dia bisa mengekspresikannya, entah dengan tindakannya—seperti tiba-tiba makannya habis bersih seporsi lol—atau dengan kata-katanya seperti di atas. Saat dia sedih pun, dia juga bisa bilang kalau dia sedang sedih dan minta dipeluk. Proses ini pun tanpa kusadari juga terjadi karena kami udah melewati masa-masa tantrum Josh dua tahun yang lalu. Meski awal-awal menghadapi anak tantrum itu nguras jiwa dan raga, makin ke sini aku belajar untuk validasi emosi anak saat mereka 'berulah'.
Aku jaraaaang banget ngomongin parenting di blog ini. Tapi aku senang bisa berbagi sesuatu atau pengalaman yang udah dilewati. Parenting itu akan berlangsung terus sampai anak dewasa, berarti mama dan papa harus bersabar untuk melewati proses yang akan datang selanjutnya.
Things I've Watched
Bulan lalu, aku sempat nonton ulang salah satu film favoritku, "Freedom Writers" yang dibintangi oleh aktris Hilary Swank. Film yang diangkat dari kisah nyata ini sangat menarik karena membahas isu rasialisme antar geng di Amerika.
Diceritakan, Erin Gruwell, seorang guru kulit putih datang di sebuah sekolah dan ditugaskan untuk mengajar Bahasa Inggris di sebuah kelas khusus anak-anak geng yang bermasalah, di mana guru-guru senior di sekolahan tersebut sendiri sudah tidak mau menangani kelas ini. Awalnya Erin sempat kewalahan bahkan ketakutan karena melihat murid-muridnya yang mudah sekali berkelahi—bukan fisik doang lho, senjata api pun terlibat di sini—antar ras hanya karena masalah kecil yang terjadi di dalam kelas. Erin nggak menyerah, dia tetap percaya bahwa murid-muridnya ini bisa mendapatkan masa depan yang lebih baik dengan menerima pendidikan selayaknya seperti murid lainnya di sekolahan tersebut.
Suatu hari, Erin meminta mereka untuk menulis diari setiap hari. Mereka boleh menulis apa saja dan jika diari tersebut ingin dibaca oleh Erin, mereka boleh meninggalkannya dalam loker di dalam kelas setelah usai jam sekolah. Di luar ekspektasinya, setiap kali pulang sekolah Erin menemukan tumpukan diari murid-muridnya dan ia membacanya satu per satu. Dari sini, Erin baru tau bahwa setiap anak-anak tersebut mempunyai latar belakang yang berbeda dan mengapa sangat memperjuangkan ras mereka masing-masing.
Buat yang suka film dokumentasi harus nonton ini, and let me know if you love it too.
Saya juga nie.. belum sempat baca buku apapun. Hadeeeh.. hahhaa.. sempet buka buku yang masih diplastikin. Tapi cuma berakhir dibuka doank, belum sempet dibaca. Hahahha.. doooooh !
ReplyDeleteBulan ini tetep produktif sih sebenarnya. Terutama pas bikin painting. So, gak apa2 gak sempet baca buku, tapi yang penting bisa produktif yang lainnya. Hahhaa..
Hahahah yang penting tetap produktif yaa Mba 😂 suka feeling guilty sendiri kalo sebulan bolong baca buku. Kebetulan banget lagi self quarantine gini bisa dimanfaatkan untuk baca buku sebanyak mungkin. Semangat ya kita semua :D
DeleteMbak, anaknya ganteng. Btw anakmbak mirip kaya keponakan saya deh mukanya. Cuman keponakan saya tambun karena hobinya makan. Kalo ditanya kegiatan sekolah favoritnya apa, pasti jawabannya: JAM MAKAN -__-'
ReplyDeleteMakasih banyak Mas pujiannya :D
DeleteAHAHAHA! Soalnya makan nggak perlu mikir kayak belajar hihi sama lah kayak saya juga, paling suka makan :P