Ada satu bagian dari buku "Tak Mungkin Membuat Semua Orang Senang" yang cukup menyentil, judul topiknya adalah tentang selera yang harus dihormati.
Setiap orang pasti punya preferensi (selera) yang berbeda-beda menyangkut berbagai hal. Contoh paling sederhana tentang selera kopi. Aku lebih suka minum kopi dengan campuran susu, sementara suami setia dengan kopi hitamnya tanpa gula. Sedangkan soal film, aku lebih memilih tontonan drama romantis komedi, sementara suami lebih suka dengan tontonan action.
Pemilihan tema/niche blog pun pasti berdasarkan preferensi penulisnya sendiri. Ada yang suka traveling, konten blognya pun kebanyakan tentang jalan-jalan. Begitu juga dengan mereka yang seorang book or movie junkie, konten yang mereka tulis pasti seputar tentang itu juga. Atau ada juga yang kayak aku, isi blognya lebih seperti jurnal pribadi, di mana pembaca bisa mengenal lebih jauh dunia penulisnya.
Setelah baca bagian buku tersebut, mendadak aku teringat sebuah peristiwa (halah, cem headline news) kecil yang baru-baru ini terjadi.
Seorang kerabat tiba-tiba menanyakan di mana aku memesan kue ulang tahun untuk Josh berikut harganya. Ketika aku menyebutkan nominalnya (not the exact price tho), beliau cukup kaget dan mulai berkomentar tentang hal-hal yang mendadak membuatku merasa nggak nyaman.
Malamnya, aku ngobrol ke suami tentang hal ini, kebetulan waktu topik ini dibicarakan doi sedang nggak ditempat. He responded it calmly, "Ah, cuek aja. Ngapain harus merasa nggak enak. Selera orang, kan, berbeda-beda." Mendengar itu, mendadak aku merasa lega.
Iya juga. Kenapa aku harus nggak enak dengan seleraku pribadi? Hanya karena seleraku berbeda dengan orang lain, apakah aku harus merasa bersalah?
Sikap "nggak enakan" ini tanpa disadari aku pupuk sejak usia remaja dulu. Aku memang nggak pernah percaya diri dengan seleraku pribadi. Di saat teman-teman lain heboh dengan musik Simple Plan, aku merasa alay menikmati musik Kpop dan Chinese Pop. Saat kuliah pun, aku mencoba menjadi "asyik" dengan mengikuti selera orang lain supaya semata-mata bisa diterima. Untungnya, perlahan aku sadar kebiasaan ini nggak baik dan harusnya aku nggak boleh minder dengan apa yang aku suka, tanpa harus merendahkan atau menjelekkan selera orang lain.
Meski udah nggak separah dulu, yang mana kadang-kadang perasaan itu suka timbul dan surut, I'm now totally fine with my own preference. I'm almost 30 and still love Kpop music, yang mana sekarang lebih banyak diminati oleh dedek-dedek Gen Z. Kadang-kadang masih suka minum boba drinks meski sempat dibilang seleranya kayak bocah SMP. Genre buku bacaanku hampir sama ketika waktu aku masih berusia 18 sampai awal 20an, walau mulai terbuka dengan genre lainnya.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, aku sedang iseng cek Instagram karena baru saja memposting foto ulang tahun Josh. Di feed muncul postingan dari kerabatku tersebut yang baru saja membeli sebuah produk yang aku tahu harganya di luar jangkauanku. Meski kuakui bagus, namun aku tau nggak mungkin aku beli.
Tiba-tiba aku menertawakan diri sendiri. Seleraku memang berbeda dengan beliau, begitu juga sebaliknya. Dan itu nggak apa-apa. Mengutip Jeong Moon Jeong dalam bab bukunya tersebut, dunia akan jauh lebih baik kalau kita bisa saling menghargai selera satu sama lain 😊
Budaya nggak enakan memang khas Asia banget ya tapi kita juga tidak dibiasakan menghargai perbedaan..
ReplyDeleteAda satu perkataan yang menurut saya layak dijadikan quote selama bergaul dengan yg demikian. Kurang lebih begini..
"Ya biarin saja. Hidup-hidup dia. Yang benar menurut kita tidak harus diikuti orang sedunia."
Hahahaha tipikal Asian peeps banget yaa Mbaa, suka nggak enakan, nggak bisa nolak lagi 😅 makanya belakangan aku lagi belajar untuk stand up for myself, biar jago ngelak pertanyaan orang 😜
DeleteBetul. Kita nggak bisa membuat semua orang puas dengan selera atau standar kita. Yang penting diri sendiri hepi-hepi aja ya (:
Persoalan selera ini memang kadang bisa membuat orang nggak enak, tapi kalau menurut saya betul kata pasangan mba Jane, better cuek saja. Saya selama ini pun nggak mau berusaha paksakan selera saya ke orang, dan orang nggak bisa paksakan seleranya ke saya. Nama pun selera, sampai kapanpun akan ikut interest personal :))
ReplyDeleteDulu ada yang pernah komen di blog saya, kata-katanya kurang lebih, "Saya awalnya nggak tertarik baca blog mba. Padahal sudah sering lihat. Tapi sekarang jadi tertarik bla bla." -- lupa tepatnya bagaimana. Terus teman-teman saya yang hobi baca komentar kaget, kok sampai bilang nggak tertarik, seharusnya nggak usah bilang. Hahahahaha. However saya balas ucapan teman saya, nggak apa-apa, namapun selera, nggak semua orang suka topik yang saya bagikan :DDD
No worries mba, dibalik segelintir yang nggak seselera, pasti ada juga yang satu selera sama mba. Contohnya sayaaa hahaahaha. As far as I know, saya cocok sama yang mba rekomendasikan :P even makanan pun nggak jauh beda :)) hehehehe. Terima kasih untuk tulisan pengingatnya. Semoga kita bisa saling menghargai selera satu sama lainnya <3
Sepertinya semakin bertambah usia, aku harus semakin telaten untuk belajar cuek nih, Mba. Meski udah nggak sebaper dulu, kadang-kadang komentar orang lain itu suka 'masuk' ke hati 😅 Aku juga berusaha nggak terlalu 'memaksakan' orang saat aku menceritakan hal yang kusuka, misalnya tentang makanan atau buku, dua topik yang sering aku bahas di sini. Karena pada dasarnya, selera orang itu bermacam-macam, ya.
DeleteHuahahaha puji syukur sekaliii kalau beberapa selera kita kebetulan cocok yaa 🙈 sama-sama, Mba Eno. Terima kasih juga sudah mengingatkanku juga (:
Agree to disagree.
ReplyDeleteShort sentence, but need long time to accept.
Hidup di jaman serba iri2 an di social media gini emg susah ya. Tapi balik lg tentang merasa cukup, bersyukur & merasa puas dgn diri. How we value ourself.
Omongan orang mah gk akan pernah berenti. Mereka ngmg cm buat basa basi ato kritik, yg kadang ada unsur iri, sok tau, penuh dgn ketidak puasan diri mereka sendiri, gk berani kritik diri sendiri, keluar deh jd gitu ke orang lain, bukan omongan yg bener2 murni kritik membangun. Good to know lama2 ud mulai cuek dengan omongan org, tp yg membangun tetep d denger ya hehe. It’s our responsibility to take care of our own soul & mental health, because nobody else understand & willing to do it for us.
Sejujurnya gue udah nggak terlalu pusingin sosmed sih, tantangannya sekarang justru realita, berhadapan dengan orang-orang sekitar beserta komentar mereka hahaha tapi gue evaluasi diri sih, apakah gue pun pernah melontarkan kritik 'kosong' kayak gitu ke orang lain. Kayaknya kalo bawaan diri mindful, apa yang keluar pasti nggak sia-sia ya, kan semua terpancar keluar dari hati kita (:
DeleteAnyway, thank youu for dropping your thoughts here! Iya dong, apalagi kritik dari lo pasti gue denger 😝
Sejujurnya, saya kadang bingung sendiri kalau ngeliat orang yang ngorbanin sesuatu yg sebenernya ga perlu dikorbanin, seperti selera atau bahkan jati diri. Karena kan sifatnya preferensi personal. Wajar banget kalau beda. Paling jadi kurang nyambung aja ngobrolnya untuk hal tsb. Masih bisa dicari kesamaan kalau mau, ga perlu terpaku sm yg bedanya aja.
ReplyDeleteTapi ya mungkin memang karakternya begitu. Jadi ya kalau ketemu tipe seperti mba Jane jaman dulu, saya ga akan yg nasehatin macem2 juga kalau ga diminta. Paling membatin di dalam hati aja “ga cape ya?”. Dan biar dalam hati aja, karena bisa jadi itulah preferensi personal orang tersebut kan ya... 😊
Sama Mba Hicha, aku pun kalau ketemu dengan diriku yang dulu rasanya pengen pukpuk terus ngomong, "Capek cuy, udah cukup." 😂
DeleteKalaupun kesamaan nggak ada, menurutku nggak perlu dipaksakan juga untuk kepentingan basa-basi. Tapi pada dasarnya aku nggak pinter basa-basi juga sih, apalagi udah tau orang yang bersangkutan memang kurang cocok diajak ngobrol 🙈 tapi lepas dari perbedaan yang ada, aku juga belajar untuk nggak memojokkan atau mengomentari selera orang tersebut. Karena setiap orang punya preferensi personal masing-masing (:
Bener mba, kalau ga ada kesamaan, mungkin memang beda frekuensi aja... 😁
DeleteKata kuncinya kalau urusan selera mah ya EGP.. hahahahaha
ReplyDeleteDunia nggak seru kalau isinya satu warna semua. Membosankan.
Monoton.
Jane pasti ketawa kalau saya bilang saya masih suka manga dan baca Kungfu Boy wakakaka..belum lagi Salad Days.. Lagu yang saya denger lagu jaman sebelum saya lahit tahun 1960-70 an..
Ya mau gimana lagi..itu selera saya..dibilang jadul ya ga masalah 🤣🤣
Daripada saya maksa dengerin lagu masa kini malah bikin uring2an..kan repot
Jadi..kita EGP in aja kalau ada yg bilang selera kita jelek..😂😂😂
Yang penting gue enjoy
Wuihh mantap banget, Mas Anton masih suka baca Kungfu Boy 😆 iya EGP yaa, yang penting mah hepi.
DeleteYang repot itu kalau harus mendengar komentar kurang menyenangkan tentang preferensi kita. Tapi rasanya saya seperti disengaja ketemu orang-orang unik di sekitar supaya menguji kesabaran dan mental hati saya deh wkwkwk mayan, akses gratis belajar pendewasaan 😝
Bicara selera adalah hal yang personal. Saya tidak pernah, dan mudah-mudahan jangan sampai menghakimi selera orang lain karena menganggap selera saya yang paling baik. Saya mendengar apa yang ingin saya dengar, menyukai apa yang saya senang. Tidak ada aturan kalau selera orang lain adalah selera pakem untuk bisa berada dalam lingkungan itu.
ReplyDeleteBetul kata kak Eno, kalau misalnya tidak tertarik dengan blog seseorang tidak perlu disebutkan. Sekalipun saya suka baca beberapa blog, kadang ada pos yang sifatnya hanya untuk dibaca, tidak perlu direspon. Saya mengamini itu sebagai sebuah cara agar tidak dikekang oleh makna ambigu 'blogwalking' yang terkesan 'i like your post, then you like my post'.
Saya jadi teringat tulisan Mas Rahul di blog, pada dasarnya manusia pasti bias, memihak kepada yang satu suara dengan dirinya. Nah, sama juga dengan selera. Melalui pengalaman kayak gini, saya jadi belajar untuk nggak mengomentari selera atau preferensi orang lain, karena nggak ada yang salah atau benar (:
DeleteSoal blogwalking juga begitu, saya juga sama. Kalau memang setelah baca 2-3 post ternyata memang tidak begitu sesuai selera, ya saya sekedar baca saja. Menghindari kesan seperti Mas Rahul katakan 😁
Mba Jane, aku pun suka Boba, trus bacaan malah bacaan aku sukanya malah buku2 anak.. hehehe..
ReplyDeleteSetuju sama Mba Jane, masalah preferen itu masing2. Walaupun yang namanya manusia pasti ada aja jleb-moment saat denger komentar orang. Asal kita cepat2 recover aja, menjadi diri sendiri dan melakukan apa yg membuat kita bahagia. Btw, kue josh waktu itu bagus banget kok Mba, jangan pedulin komentar orang itu 😙
Klo aku so far komentar orng yg aku ga suka adalah saat mereka menempatkan seolah2 kok bisa2nya aku sibuk dg hobi (baca, nulis, dll) sementara ada anak2 yg butuh perhatian. Kok ya mereka bisa2nya mikir aku ga meratiin anak dg melakukan hal2 yg bikin aku happy (pdhal melakukannya di sela2 waktu saat anak tidur). Salah aku klo mreka ga bisa bagi waktu dan merasa aku juga gitu.. hahaha.. eh kok aku jd curhat, maap mba jane 😂
Tosss dulu, Mba Thessa! Meski udah nggak sesering dulu, minuman boba itu suka ngangenin dalam kondisi tertentu 😆
DeleteNah iya betul, kata kunci di "recover" itu ya. Jangan lama-lama berlarut dalam komentar orang lain, apalagi kalau sebenarnya kita nggak pernah bermasalah dengan selera pribadi.
Soal komentar orang lain tentang waktu melakukan hobi Mba Thessa, itu yang dimaksud komentar temanku (jessica) yang ada di atas. Pada dasarnya orang kritik itu karena mereka nggak bisa mencapai sesuatu yang kita capai, makanya asbun deh 🙈
Hihihi gapapa, Mba Thessa. Aku yang makasih udah sharing di sini :D
kayaknya umum ya orang indonesia tuh suka gak enakan. gua dulu juga gitu. sekarang juga masih sih tapi udah lebih mendingan. sejak pindah kesini baru ngeliat kalo sebenernya gak perlu kita suka gak enakan. hahaha
ReplyDeleteApalagi di sana ya, Ko. Orang-orangnya cenderung cuek dan liberalis, you do you, ngapain pusing-pusing hahaha memang harusnya kita perlu belajar cuek apalagi menyangkut hal-hal kayak gini.
DeleteSetuju banget sama kata suaminya Mbak Jane. Cuek aja, toh masalah selera tiap orang beda-beda.
ReplyDeleteItu juga kata yang sering diucapkan suamiku ke aku juga, Mbak. Soalnya aku pun gitu, suka gampang baper. Apalagi kalau ada yang ngomong merembet-merembet ke arah yang agak sensitif di aku. Kalau udah gitu sih biasanya aku di depan mereka masih gaya-gaya cool aja, tapi setelah sendiri di kamar nangis sudah atau kalau gak gitu ngomel-ngomel sendiri.😅
Ada kalanya selera orang lain berbeda dengan seleraku. Kalau ada kejadian seperti itu biasanya aku memilih diam dan gak komentar yang membuat orang itu sakit hati dan gak nyaman. Tapi orang lain kadang gak punya sikap yang sama seperti yang aku lakukan. Kalau ada seleraku yang beda dengan mereka, mereka komentari habis-habisan tanpa mempertimbangkan gimana perasaanku ketika kata-kata itu keluar dari mulut atau jari mereka.
Tapi mau gimana lagi. Selera orang berbeda, karakter setiap orang pun berbeda. Bisa aja niat mereka cuma basa-basi doang, tanpa bermaksud merendahkan kita atau menyakiti hati kita. Jadi ya gitu. Cuekin aja daripada kitanya yang capek sendiri.😊
Huahaha ternyata Mba Roem sama yaa kayak aku. Di depan orang berusaha cool, begitu pulang mewek-mewek 😂 tapi sekarang udah nggak terlalu dimasukkin ke hati sih. Paling diutarakan aja ke suami, habis itu udah legaan.
DeleteIya betul, kadang orang-orang nggak bisa bersikap sesuai dengan yang kita harapkan. Kalau udah terpaksa mendengar komentar kurang menyenangkan, pilihannya cuma satu deh: masuk kuping kiri, keluar kuping kanan XD
Mari kita belajar masa bodoh ya, supaya nggak gampang baperan dan benar-benar jadi orang yang cool 😆
Saat baca postingan ini, aku jadi terpikir, gimana kalau seleranya itu hal-hal yang problematik? Misalnya orang yang suka baca cerita tentang incest, hubungan romantis antara guru dan murid, dan semacamnya. Atau hal yang masih dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Aku jadi terpikir karena pernah baca blog yang bilang kalau dia menentang hal tersebut dan jadi takut menulis di blogku kalau aku pernah suka hal tersebut (sekarang netral, kurasa).
ReplyDeleteTentang selera pada hal yang problematik, menurutku terserah dia, asal gak memaksakan seleranya kepada orang lain. Yah, memaksakan selera pada orang lain itu memang gak baik, sih, apapun seleramu.
Hmm kalau selera yang problemantik aku no comment 😅 karena balik lagi, pasti ada alasan di balik itu semua dan aku nggak berhak menilai apa-apa. Betul yang kamu bilang, asal nggak memaksakan seleranya kepada orang lain 😊
DeleteMasalah nggak enakan berujung minder ini seperti familiar sekali dengan masyarakat Indonesia ya, ci :(
ReplyDeleteKarena beberapa orang yang berada di atas, suka melihat rendah selera orang yang di bawahnya padahal belum tentu tidak bagus atau tidak enak lho. Beberapa kebanyakan berpikir bahwa kalau mahal pasti bagus/enak, tetapi yang murah juga banyak yang bagus dan enak kok :D
That's why, urusan selera memang tidak bisa dipaksakan ya, bahkan ketika strata di masyarakat-pun sama, selera tetap bisa berbeda hahaha.
Semoga kita dimampukan untuk lebih cuek dengan kata-kata orang ya ci >.<
Selera/preferensi orang memang pada dasarnya bias kan, apalagi latar belakang orang juga berbeda-beda. Ada yang suka ini karena dulunya begitu dan sebaliknya. Banyak faktor dan memang nggak bisa disama ratakan :D
DeleteIya nih, semoga harus lebih luwes lagi belajar cuek mendengar komentar basa-basi atau yang nggak membangun. Supaya energi kita yang terbatas gak kebuang percuma 🤭
Dan masih banyak juga di Indonesia ini yang suka memaksakan seleranya ke orang lain, kalo ga sesuai diajak ribut hadeeeh :(
ReplyDeleteBener, kita ga seharusnya merasa ga enak hati karena punya selera yang beda sama orang lain. Tapi ya gimana yaa kadang kita bisa menerima perbedaan selera tapi belum tentu orang lain bisa menerima pas kita beda selera dengan dia hahaha..
Jadi ya bener, cuekin aja 😆
Yang ngeselin kalo udah dikomentarin, harus banget belajar pasang muka kebal biar nggak baper melulu 😂
DeleteIya betul, tapi meski demikian kita harus tetap belajar apa yang kita yakini benar ya. Mudah-mudahan orang lain bisa sadar dan nggak asbun lagi hihi
Hay Mbak Jane, saya sedang meresapi kata 'nggak enakan' dlm praktek kehidupan kita, *ciee
ReplyDeleteKetika problemnya kek mba jane, aku pun merasa sepaakat sih, kita emang perlu EGP dan membuang rasa nggak enakan itu.
Nah, tapi ternyata nggak enakan itu perlu lho. Semisal orang pinjm barang atau uang gt, harusnya perasaan nggak enakan itu dipake disitu yaa. Kan jadinya nggak pinjem2, dan kalaupun pinjem karena ngga enakan jadinya ga segera dibalikin, hihi
Haii juga Mba Ghina :D
DeleteNah iyaa, sebetulnya "nggak enakan" itu bisa dipakai di situasi yang berbeda juga sih, apalagi kalo udah soal pinjem-pinjem uang 🙈 ini juga liat orangnya sih, tapi nggak enakannya lebih ikhlas kalo perkara beginian 😂
Betul banget mbk, setiap orang punya selera beda-beda dan nggak ada hubungannya sama usia. Kalau suka ini nggak bisa dipaksa suka itu. Saya aja sampai usia segini masih suka nonton anime, dikira orang anime itu macam doraemon aja. Padahal nonton naruto pun banyak pelajarannya. Saya suka gendong kucing pun dikomentari.
ReplyDeleteLah.. Lama-lama saya capek. Emang ini yang saya suka, ini selera saya.
Sak serku dewe😁
Ahahaha maaf Mba Astria, kok aku malah ketawa orang gendong kucing aja dikomentari? Apa masalah hidupnya ya 😆
DeleteIya betul, selera itu nggak memandang usia. Namanya selera ya kan sifatnya pribadi, ya. Aku pun belajar nggak menilai selera orang lain seenaknya, biarlah kita semua bisa aman tenteram menikmati selera masing-masing ya :D
Hai Jane, baca ini bikin saya pengin ngucapin makasih buat mereka mereka yang menghargai selera saya. Ternyata kalau diingat-ingat, teman teman saya sungguh baik budi pekertinya untuk menerima, gak asal komen, dan ya gak komen juga karena mereka menghargai. Thank you Jane remindernya, bikin minggu pagi ini rasanya lebih cerah :)
ReplyDeleteHi Mba Justin (:
DeleteBersyukur sekali yaa, Mba, punya teman-teman yang pengertian dan saling menghargai selera masing-masing. Teman yang seperti mereka harus di-keep jangan sampai lepas hihi
Sama-sama, Mba! <3
"dunia akan jauh lebih baik kalau kita bisa saling menghargai selera satu sama lain" kita kadang udah begini, eh orang lain masih suka maksa-maksa🙃 nyebelin banget, nggak diladenin ini mereka maksa terus, diladenin bikin aku gila😂😂😂 ditinggal aja deh kayaknya emang orang kayak gitu, YA INTINYA EMANG GITU NDAH!!
ReplyDeleteAku sebetulnya jarang nemu yang maksain seleranya, yang nyebelin itu kalo selera kita dikomentari, harusnya ini dan itu, kan gengges yaa bokkk 🙄
DeleteHAHAHA betullll! Dah, bhaaaay aja itu mah daripada gondok terus 😆
"nggak boleh minder dengan apa yang aku suka, tanpa harus merendahkan atau menjelekkan selera orang lain"
ReplyDeleteIni kayaknya saya bangett!!!
Khususnya dalam fashion atau apapun yang saya kenakan, mau satu dunia bilang saya cocok pakai itu kek, kalau saya nggak suka dan nggak nyaman ya udah nggak bakal saya pakai.
Pernah tuh teman saya maksa makein hijab yang muter-muter biar hijabnya menggelembung, dan wajah jadi ga temben katanya.
Saya mau aja dong, trus abis itu ga nyaman, ya iyalah, kepala saya itu agak gede, kalau hijabnya gede, makin gede dong hahahaha.
Dan intinya, saya nggak suka gaya begitu, biar kata lagi booming :D
Btw, saya bisa mengira-ngira apa yang dikatakan kerabat Jane itu, yang biasa dilakukan banyak orang zaman now, kadang bercelutuk itu sebenarnya ga bermaksud apa-apa, tapi ya asal aja gitu :D
Hahahaha iya benar banget, Mba Rey. Yang bagus belum tentu cocok atau nyaman di kita, yaa. Makanya kalau soal fashion, aku pun tetap pada selera pribadi aja dan nggak terlalu ngikutin tren, soalnya tren kapan pun bisa berubah 😁
DeleteIya, Mbaa. Sebetulnya nggak ada maksud apa-apa memang, cuma terlalu blak-blakan aja akhirnya aku pun sempat merasa nggak nyaman 😅 untungnya nggak terlalu dibawa, kalau aku yang dulu mungkin sakit hatinya sampai besok-besok *lebay*
setuju pake banget mbak jane, meskipun selera berbeda tapi tetep menghargai
ReplyDeletetadi nggak sengaja aku nemu post di timeline sosmedku, ternyata sikap nggak enakan itu jangan dipelihara terlalu lama, ini kata psikolognya.
dipikir pikir ada benernya juga, kalau sampeee nanti sampe besok, nggak enakan terus, kayaknya nggak maju maju kitanya
Betulll! Jadi PR yang utama itu adalah saling menghargai selera masing-masing orang. Kalau soal sikap nggak enakan ini butuh waktu panjaaaang sampai aku betul-betul bisa legowo, Mba. Kalau kejadian di atas terjadinya sekitar lima tahun yang lalu, bisa aja aku masih sakit hati sampai hari ini 😅 untungnya perlahan mulai belajar cuek dan berpegang pada prinsip sendiri, jadi bapernya nggak kelamaan hihi
DeleteGa akan ada perang kali yaaa kalo setiap manusia bisa menghargai preference masing2 orang.
ReplyDeleteJadi inget aku dan suami itu beda banget2 dalam banyak hal, yg bikin kami sempet ribut di awal2. Tp kenapa bisa balikan lagi, ya Krn masing2 akhirnya mau mengalah dan menghormati pilihan masing2. Aku hanya suka lagu rock. Suami kebalikannya yg slow ato pop. Awal2 aku ngedumel dgrin lagu dia yg cendrung cengeng abis. Tapi lama2 aku belajar sih utk menghargai pilihan dia. Dan setelah aku biasain denger, lama2 nib kuping bisa enjoy juga walo ttp blm bisa suka :D..
Paling parah pas pilpres kmarin mba. Aku disidang Ama keluargaku di Medan begitu tau pilihanku ga sama dengan mereka :p. Aku ga prnh mau menghina pilihan orang lain. Apapun itu, aku hormati. Makanya pas keluarga sendiri malah maksa aku utk berubah pilihan dengan alasan sangat ga msuk akal, aku emosi. Dan lgs bawaan pgn ngepak koper balik LG k jkt hahahaha. Skr sih hubungan kami udah membaik. Tapi yaa itu, LBH bagus jauh tp kangen, drpd Deket ribut Mulu :p
Itu salah satu dr ga menghargai pilihan orang lain sih.
Berharap anak2ku ga begitu nantinya.
Bukannya dengan segala perbedaan malah bikin hidup berwarna kan, drpd memaksa orang harus sama dengan yg kita mau :D
Soal perbedaan selera dengan pasangan, itu juga aku rasakan banget, Mba. Aku dan suami itu semuanya bertolak belakang, kayaknya hampir nggak ada yang sama deh 😆 soal makanan pun dulu kami suka sindir-sindiran, sekarang malah saling suka hahaha
DeleteWaduh, sampai kena sidang segala ya 🙈 tapi itu kejadian juga dengan temanku yang tinggal di Padang, Mba. Begitu dia nyoblos di kampungnya dan pilihan dia berbeda dari mayoritas masyarakat di sana, langsung disirikin termasuk orangtuanya 😥 sedih juga sih yang kayak gini, apalagi sama keluarga sendiri juga hiks
Aku pun berusaha mengajarkan anak untuk saling menghargai selera tiap orang. Dia suka ini, belum tentu temannya suka and that's okay 😊
Meski berbeda, tapi kalau ada rasa toleransi, pasti dunia jauh lebih damai yaa 💜
Sampai sekarang pun aku juga masih merasa tidak enak jika ngomongin soal selera, karena terkadang selera saya tidak sama dengan orang lain, terutama perkara mengulas kedai kopi dan kafe. Ada satu kedai yang menurut banyak orang bagus dan cocok, tapi di saya sendiri kurang cocok. Akhirnya saya memilih untuk tidak mengulas secara mendalam daripada nanti menyinggung banyak pihak, hehehe.
ReplyDeleteEmang paling enak tuh menghargai selera orang deh ya, dunia akan damai jika nggak memaksakan selera kita harus diterima dan dilakukan orang :D
Yups bener banget kak, setidaknya kita harus menghargai selesainya tapi gak mesti harus memaksakan diri menjadi suka dengan selera mereka. Salam kenal kak.. Saya Andy
ReplyDelete